4. Semakin Jelas Terlihat

454 104 27
                                    

Shua dengar dari Bu Sri, Mama Dikey sudah tidak pulang selama tiga hari. Entah untuk urusan bisnis atau bukan, beliau tidak tahu. Tapi Dikey sempat bercerita pada Shua kalau Mama ada bisnis di luar kota. Jadi Shua percaya saja. Ia ceritakan hal ini pada Bu Sri.

Meskipun begitu, di rumah tidak ada masalah yang berarti. Bu Sri bilang kalau uang belanja dan gaji pun selalu tepat waktu datangnya. Bahkan kadang satu atau dua hari masuk lebih awal. Bu Sri senang bisa punya atasan seperti keluarga Dikey. Beliau diperlakukan seperti keluarga mereka sendiri. Bahkan manjanya Dikey ke Bu Sri, tidak jauh berbeda dengan tingkah manjanya ke Mama.

Shua juga manggil Mama Dikey dengan sebutan Mama. Dikey juga manggil Mommy-nya Shua dengan sebutan Mom. Jadi kalau Dikey tanya soal Mom, dia langsung saja nyebut Mom. Otomatis Shua mengerti kalau yang dia bicarakan adalah Mom. Mamanya Shua.

Sewaktu mereka kecil, keduanya tinggal di rumah yang bersebelahan. Mama dan Mom sangat akrab. Hamilnya bersamaan. Padahal Mom dan Dad nikah satu tahun lebih dulu.

Mama dan Mom sering memeriksa kesehatan Shua dan Dikey kecil bersama-sama. Tentu mereka percaya. Mom sangat jarang berbohong. Kecuali mengenai bisul. Kata Mom tidak boleh duduk di atas bantal, nanti bisulan. Shua percaya. Sudah besar, gadis itu baru mengerti. Itu hanya salah satu cari supaya dia tidak lagi duduk di atas bantal. Fungsi batal untuk kepala, bukan pantat. Mitos di Indonesia memang aneh-aneh. Unik. Beda sama budaya di Negara asal Mom. Amerika.

Lama mengobrol dengan Bu Sri, Shua jadi melupakan keberadaan sahabatnya itu. Entah sejak kapan Dikey sudah menghilang dari ruang tengah. Bosan menonton televisi sendirian, mungkin. Pizza yang tadinya mereka pesan untuk makan malam pun, tinggal sedikit. Shua segera menyusulnya saja ke kamar. Dikey pasti ada di dalam sana.

Kamar Dikey ada di lantai dua. Ujung lorong, setelah melewati kamar Mama, juga kamar kosong untuk tamu. Biasanya jika Shua menginap, akan menempati kamar itu. Sebenarnya kamar kosong itu dulunya adalah kamar Dikey. Tapi dia minta pindah. Tidak enak menempati kamar yang ada di depan. Lebih enak di belakang, sepi. Mau memutar musik senyaring apa pun, tidak akan terlalu terdengar sampai ke ruang tengah.

"Dikey, aku masuk ya!"

Shua sempat berteriak tadi. Tapi langsung mengunci mulut, begitu tahu kalau Dikey sedang bicara melalui sambungan telepon. Shua tahu ini tidak sopan. Meskipun Dikey adalah sahabatnya sendiri, dan dia tidak akan marah kalaupun tahu ini, Shua sudah dididik supaya tahu tata krama.

Tapi, apa yang lolos dari mulut sahabatnya itu, sungguh menarik perhatian Shua.

Shua bisa mendengar ucapan Dikey dengan sangat jelas dari celah pintu yang sedikit terbuka. Dari depan kamar Dikey, tidak ada suara lain, selain suaranya yang tak begitu lantang. Dia bicara sewajarnya, juga tak berbisik. Shua membuka pintu kamar itu sedikit lebih luas, supaya bisa mendengarnya dengan lebih jelas lagi.

"Masih satu Minggu lagi kan, Ma?"

"Kenapa dipercepat? Aku belum melakukan apa-apa pada Shua."

"Tidak, aku tidak mau memberitahu Shua. Dia akan marah padaku."

"Kenapa usul Mama selalu tidak bagus? Aku tidak mau. Pokoknya jangan beritahu Shua!"

Perlahan Shua kembali menutup pintu kamar Dikey seperti semula. Sepelan mungkin. Berusaha tak ketahuan kalau ia sudah mendengar ucapan Dikey tadi. Shua memang tidak cukup mengerti, hanya mendengar ucapan monolog Dikey seperti tadi. Tapi, ia memiliki firasat yang tak baik.

Apa yang sedang Dikey sembunyikan dari Shua?

Dulu, saat hujan deras dan mereka terjebak di dalam kelas yang sudah kosong, Dikey pernah mengucapkan janji. Shua yakin laki-laki berhidung mancung itu pasti akan terus memegang janjinya hingga detik ini. Tapi begitu mendengar ucapan Dikey tadi, Shua mulai ragu. Apakah Dikey sudah melupakan janjinya waktu itu?

Dikey bilang kalau dia akan terus menceritakan apa pun yang dialaminya pada Shua. Sedih-senang, suka-duka, Dikey sudah berjanji akan menceritakan itu pada sahabatnya, Shua. Begitu pula sebaliknya. Supaya keduanya dapat mengetahui kondisi hati satu sama lain.

Punggung Shua menempel di dinding, seperti cicak. Kening mengerut. Singkron dengan semerawutnya tali yang ada di dalam otak. Shua pusing. Gadis itu mau tahu semuanya. Dikey sudah terlalu banyak menyembunyikan sesuatu dari Shua.

"Shua?" Panggil Dikey.

Nampak jelas si pemilik kamar itu sedikit terkejut. Shua menoleh, tak banyak memberikan ekspresi. Berbanding terbalik dengan Dikey yang menampilkan banyak tanda tanya di atas kepalanya. Saking dekatnya mereka, saking mengenalnya Shua pada Dikey, tak perlu bertanya pun gadis itu tahu kalau sahabatnya sedang melemparkan tanya. Kenapa kamu bisa ada di sini? Apa kamu sudah mendengar ucapanku tadi?

"Ya?" Shua menyahut. Sebenarnya bukan untuk menyahut panggilan Dikey sebelumnya. Tapi lebih kepada menjawab semua pertanyaan yang ada di dalam hatinya.

"Kenapa tidak masuk?" Dikey menarik tangan Shua untuk mengikutinya. Mereka masuk ke dalam kamar Dikey. Kamar itu sudah seperti kamar pribadi untuk Shua. Ia bebas keluar-masuk ke dalam sana. Mungkin karena itulah Dikey sempat heran melihat Shua hanya berdiri di depan. Sebelumnya sahabatnya itu selalu masuk tanpa permisi.

"Aku kira kamu lagi mandi," Shua mencari alasan.

Dikey menggeleng ribut. Dia menyingkirkan ponsel yang ditinggal di atas ranjang, lalu merapikannya. Duduk, menepuk sisi di sebelahnya. "Tidak, aku malas mandi. Kamu mau mandi? Mau aku siapin buat kamu mandi?"

"Cih, sejak kapan kamu mau ngurusin aku? Biasanya kalau aku ke sini kamu biarkan saja. Mau melakukan apa pun, bebas."

Dikey tertawa nyaring. Menyambut Shua begitu turut duduk di sebelahnya dengan mengulai rambut gadis itu. Sebenarnya Shua gugup, tapi juga bingung secara bersamaan. Shua bisa menangkap dengan jelas kalau Dikey sedang banyak pikiran. Pasti karena obrolannya dengan Mama tadi.

"Dikey?" Shua berusaha menyadarkan sahabatnya dari acara melamun. Tangan Shua mengibas di depan matanya. Dikey mengerjap. Dugaan Shua benar, laki-laki mancung itu melamun.

"Ayo kita rebahan! Kita ngobrol sampai subuh, kalau perlu. Aku kangen sama kamu. Mungkin sudah dua minggu kita tidak ada acara menginap seperti ini. Mumpung Mama tidak ada di rumah."

Shua dan Dikey memiliki banyak kebiasaan yang unik. Kalau orang awam melihat, mereka berdua bisa dikubur masa. Diduga melakukan zinah. Atau yang paling ringan, akan diarak masa keliling komplek. Mereka sering tidur satu ranjang. Tapi beda selimut. Juga sering mengobrol dari malam, sampai ketemu azan subuh.

Kalau Mama tahu, pasti mereka akan dimarahi. Kecuali rumah sedang kosong seperti ini, Dikey tidak pernah segan mengajak Shua tidur satu kamar. Shua percaya dengan Dikey. Laki-laki itu bisa menjaga sahabatnya dengan sangat baik.

Beruntung mereka tinggal di Jakarta. Antara satu rumah dengan rumah lain, penghuninya tidak begitu memperhatikan. Apalagi tempat tinggal Dikey. Tinggal di salah satu komplek mewah yang orang-orangnya saling tak peduli. Hidup masing-masing. Tidak ada yang tahu kalau ada seorang gadis, ikut tidur di kamar Dikey.

Tapi Bu Sri tahu. Karena Bu Sri sudah bekerja di rumah Dikey sejak mereka berada di kelas 6 Sekolah Dasar, beliau sudah merasa tidak aneh melihat tingkah keduanya. Sejak dulu Dikey dan Shua memang selalu seperti ini.

Kebiasaan mereka tidak bisa diubah.

TBC
07.01.2019

Dear My Friend (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang