1. Gagal Kemah

953 117 44
                                    

"Darmagi Kiwani U-"

"Hadir!" Shua berteriak lantang dari ujung barisan. Memastikan panitian berkemah kali ini dapat mendengar suaranya dengan jelas.

Kening mereka mengerut, menyambut teriakan Shua tadi. Memangnya kenapa? Apa tidak boleh? Mereka saja sering menitipkan absen pada teman dekat, minta memalsukan tanda tangan sebagai tanda kehadiran. Kenapa aku tidak boleh berteriak untuk mengabsen Dikey? Geram Shua.

"Di mana Dikey?" Tanya Vernon. Bule girang. Tidak pernah satu kelas dengan Shua. Tapi sering bertemu di acara seperti ini. Juga dipertandingan futsal, lawan terberat Dikey.

Dari paling belakang, Shua melangkah maju mendatangi panitia. Menunjukkan ponsel pintarnya yang memiliki sedikit retak akibat terhempas, saat berebut kaus bola dengan Dikey. Syukurnya laki-laki itu mau mengalah. Jika Shua merajuk, hidup dia yang akan terancam.

Dikey mengambil warna putih dan memberikan satunya untuk Shua. Warna hitam. Dia juga sempat membujuk Shua untuk mendatangi tempat service handphone, tapi ditolak. Kata orang, oknum tukang service seperti itu akan membuat ponsel kita rusak lebih parah. Berharap kita akan kembali pada mereka, dan memperbaikinya. Bukan berburuk sangka, tapi berjaga-jaga.

Kening Vernon mengerut. "Masa kita harus menunggu 10 menit? Iya, kalau dia tepat waktu. Kalau lebih lama dari itu?"

Firasat Shua buruk, begitu tahu Vernon adalah salah satu panitia hari ini. Dia tidak pernah bersikap ramah pada Dikey. Shua ikut geram. Shua juga punya darah asing dari Mom. Melihat tingkah soknya, bikin Shua malu.

"Memangnya kamu tahu kapan musibah bakalan datang?" Sahut Shua membela. "Menunda keberangkatan beberapa menit apa salahnya? Panitia juga sering terlambat. Berjanji acara akan dimulai pukul delapan, tapi sampai pukul sembilan pun persiapan kalian belum rangkum. Lebih parah mana dengan Dikey?"

"Shua, kau ini pacarnya Dikey, ya?" Suara itu membuat Shua berpaling melihat ke arah belakang, barisan kedua. Hanny, satu kelas dengannya di mata kuliah introduction to business. Terkenal dengan wajah malaikat. Tapi Shua tidak tahu bagaimana prilakunya. Mereka tidak dekat.

"Pacar ataupun bukan, juga bukan urusanmu. Aku hanya meminta supaya berangkatnya ditunda dulu sekitar 10 menit, tidak boleh ya?"

"Tapi kita harus berangkat, Shua. Bus travel tidak mungkin mau menunggu kita." Jun ikut bicara. Jin batu akik! Sejak dulu Shua memang tidak suka dengan sikap sok tegasnya. Mana sok ganteng, bernama Junaidi pengin dipanggil Jun. Gila saja. Shua tahu dia hanya mencari muka di depan semua mahasiswi. Dan sebentar lagi akan menjadi sanjungan oleh mereka semua. Tujuan utama dia selalu berhasil.

"Kalau begitu aku tidak jadi berangkat." Shua tidak mau berangkat tanpa Dikey. Shua dan Dikey itu satu paket. Seperti kaus kaki kiri, dengan kaus kaki kanan.

Kembali ke barisan paling belakang, Shua menyeret koper berwarna abu setinggi pinggul. Menyisih dari barisan mereka. Duduk di atas semen pembatas trotoar dan jalanan.

Kemarin malam sempat hujan, walau tidak deras. Ternyata dinginnya masih terasa hingga pagi ini. Shua memasukkan kedua tangan ke dalam kantung jaket. Mencari kehangatan. Mereka semua sudah menaiki bus. Asap bus travel menyembul keluar berwarna cokelat. Sumber polusi.

Pilihan Shua ternyata benar, ia bangga setengah mati. Bangga tidak jadi berangkat dan ikut menjadi salah satu sumber polusi. Kesulitan mencari tempat wisata alam saja Shua sudah menderita.

"Shua," suara tingginya membuat kepala pemilik nama mendongak. Tubuh Dikey memang tergolong tinggi. Tinggi gadis dengan rambut dikuncir itu hanya sebatas hidung Dikey yang mirip perosotan anak TK. Sebenarnya Shua menderita. Kepalanya sering terasa pusing karena terus mendongak. "Kenapa tidak naik bus? Ayo cepat, nanti kita ditinggal!"

Dear My Friend (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang