2. Anak Gadis Mom

633 113 43
                                    

Mobil sedan itu meluncur mulus mengarah ke jalan raya. Beberapa kali melambatkan jalannya saat melewati polisi tidur. Jakarta cukup lengang kali ini. Shua meraih pergelangan tangan Dikey, melihat jam tangan yang laki-laki itu kenakan. Sudah jam 10.00, pantas saja jalanan mulai lengang.

Shua baru sadar bahwa tangan Dikey belum juga ia kembalikan. Masih dipegang erat, di atas kedua pahanya. Shua malah asik memperhatikan jalanan di luar. Dikey menarik tangannya sendiri. Saat itulah Shua baru sadar. Rasanya sangat memalukan. Gadis itu melirik Dikey yang tertawa kecil, entah meremehkan atau apa.

Shua membuang muka. Tidak mau menanggung malu.

"Libur semester kita kali ini, pasti akan sangat menyenangkan. Aku janji." Ucapan Dikey menarik perhatian Shua.

Kedua mata mereka bertemu. Tapi kali ini Shua tidak merasakan gemuruh di dada seperti biasanya. Ini berbeda. Tatapan Dikey kali ini berbeda. Rasanya seperti sebuah janji yang entah untuk apa, dan kenapa Dikey sampaikan.

"Kamu kenapa?" Tanya Shua.

Kening lebar yang biasanya tertutup rapat oleh poni panjang, mengerut mendengar pertanyaan Shua. Seperti berusaha menyembunyikan sesuatu. Shua semakin curiga. Ia harus mencari jawabannya.

Dikey tertawa nyaring. "Kenapa bertanya seperti itu?"

Dikey memang selalu tertawa. Dalam kamus hidupnya, tertawa adalah sebuah keharusan. Tiada hari tanpa tertawa.

"Tidak ada apa-apa," ujar Shua lalu kembali membuang muka.

Shua membiarkan tangannya diambil alih oleh Dikey. Rasanya mengggelitik permukaan kulit telapak tangan. Dikey mengusapnya dengan lembut, sambil terus bermain dengan ujung jari. Menuliskan huruf yang tak dapat Shua tangkap dengan baik.

"Darmagi Kiwani sudah berjanji akan menemani Shua terus. Jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Benar, kan?"

Pergerakan tangannya di perpemukaan kulit Shua berhenti detik itu juga. Gadis itu melihat ke arah Dikey, untuk menyaksikan secara langsung. Kepala Dikey menunduk. Memperhatikan tangan mereka yang masih menyatu. Hingga mobil yang mereka berhenti di depan rumah Shua, ia tak bergeming beberapa saat.

Kepala Dikey menegak. Langsung menemukan keberadaan mata yang begitu khas milik seekor kucing. "Tentu saja. Dikey akan terus bersama Shua. Dikey akan menepati janji."

Mesin mobil dimatikan. Membuat suasana hening detik itu juga.

Shua tidak mengerti apa yang terjadi sekarang. Tapi ucapan yang baru saja terlontar dari mulut Dikey, hampir sama dengan kalimat-kalimat sebelumnya.

"... Dikey akan terus bersama Shua. Dikey akan menepati janji ..."

Suara itu membuat Shua merinding, entah kenapa. Dikey anak yang jahil. Si gadis sudah hafal itu. Dia selalu mengerjai Shua, sejak mereka masih balita. Atau mungkin, sebenarnya sejak mereka masih berada di dalam gendongan Mama dan Mom. Siapa yang tahu kalau dulu dia pernah merebut botol dot milik Shua? Atau malah, merebut permen yang ada di dalam mulut Shua.

"Hey, Dikey." Mom menyambut Dikey riang. Mungkin sudah dua minggu Dikey tidak mampir ke rumahnya. Wajar jika wanita paruh baya yang Shua panggil Mom itu begitu senang saat melihat Dikey bertandang. Dikey sudah seperti anaknya sendiri. "Apa kabar, sayang? Kenapa baru bisa mampir sekarang?"

Sampai-sampai Mom melupakan keberadaan anak kandungnya, sudah berdiri tegap di sampingnya. Menarik koper mini, hendak masuk. Namun beliau menghalangi jalan. Berdiri di depan pintu.

Dear My Friend (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang