Tidak perlu mencari sebabnya.
Tidak perlu juga menyangkalnya.
Kita tahu, rasa nyaman adalah awal dari segalanya.
*****
Tiga minggu berlalu sejak Diana menginap dirumahnya malam itu. Sejak malam itu pula, wanita baik hati itu sering mengunjunginya. Atau sekedar menelpon menanyakan kabar.Suara langkah kaki dan perbincangan para siswa menghiasi koridor yang ramai. Bel tanda pulang sekolah berbunyi 5 menit yang lalu. Sedangkan gadis itu masih berkutat pada tumpukan bukunya.
" Yakin ga mau gue bantu? " tanya Langit untuk yang kesekian pada gadis itu. Reina mengangguk sebagai jawaban.
Sikap Reina masih tampak dingin pada lelaki itu. Langit juga tidak memaksa gadis itu untuk bersikap baik padanya. Melihat Reina yang kembali memiliki semangat sudah cukup membuat Langit lega.
" Lo pulang duluan juga ga masalah. " ujar Reina datar, masih sibuk dengan buku-bukunya.
" Nungguin lo aja, mau belajar pake tongkat kan? "
Ah ya. Gadis itu lupa. Melihat tugas yang segini banyaknya, ia tidak yakin akan cepat selesai dan bisa memakai tongkatnya. Reina mendesah pasrah, tertunda lagi.
" Besok lagi, lo liat sendiri tugas gue. " sahut Reina malas.
Langit tersenyum, lalu mengangguk sebagai jawaban.
" Anytime, Rein. "
**
Sudah lebih dari dua jam Langit memperhatikan Reina yang tampak kaku menggunakan tongkatnya. Tidak terhitung pula berapa kali gadis itu jatuh berdebam dilantai.
Langit berdiri, menghampiri Reina yang sejak tadi tidak mau berhenti barang sedetik pun.
" Istirahat dulu, Rein. " ujar Langit. Reina hanya menggelang tanda tidak mau.
" Udah mulai lancar gitu kok, " ujar Langit lagi berusaha membuat Reina berhenti. Tidak ingin gadis itu kelelahan.
" Mau apa emang sih? " tanya Reina setelah berbalik menghadap Langit.
" Mama mau ngajak makan malam dirumah. " jawab Langit sambil tersenyum. Reina terpaku melihatnya, sedikit terpesona dengan senyum lelaki itu. Selama ini ia selalu mengabaikan Langit, tidak tau kalau ternyata Langit memanh setampan itu.
Reina langsung menggeleng, mencoba mengenyahkan pemikirannya itu.
" Ga mau ya? " tanya Langit melihat Reina yang tiba-tiba menggelengkan kepalanya. Tidak ada alasan untuk Reina menolak, justru ia senang.
" Mau. " ujar Reina yang kembali menciptakan senyum Langit.
Tidak ada percakapan lagi setelah itu. Hanya suara lelaki dari radio yang memecah hening didalam mobil.
Langit menghela nafasnya, tidak betah dalam suasana seperti ini. Baru ia ingin membuka mulutnya, ponsel Lelaki itu sudah mendahuluinya.
" Oit. "sahut Langit kepada si penelpon itu.
" Gue kesana. " sahut Langit lagi, Reina yang mendengarnya sedikit melirik dari ekor mata. Sedikit ingin tahu apa yang dibicarakan oleh orang diseberang sana sehingga membuat Langit seperti menahan emosinya.
Ketika sampai rumah lelaki itu, Langit segera membukakan pintu untuk Reina. Mengantarkan Reina pada ibunya, lalu pamit hendak keluar menemui teman-temannya. Reina yang melihat itu entah mengapa tidak suka. Ia tidak suka Langit meninggalkannya. Bukan karena apa-apa, ia agak sungkan jika hanya berdua dengan mama Langit dirumah megah itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE FIRST
Teen FictionKisah mereka bukan kisah seperti kebanyakan remaja. Bertemu untuk saling membenci, bersama untuk saling mencintai, dan berpisah untuk saling mengerti. Apakah yang berawal dari kehancuran akan berakhir dengan hancur juga? " Bisakah kita cukup salin...