Adakah seseorang yang tahu obat penawar luka? Kalau ada yang tahu, mohon hubungi Langit, ia ingin memberikannya pada Reina.
Rasa bersalah semakin mencekiknya. melihat Reina yang sama sekali tidak menunjukkan air muka. Gadis itu hanya diam diperjalanan mereka menuju sekolah.
Saat sampai sekolah pun, Reina sama sekali tidak bicara. Ia hanya diam saat Langit mendorong kursi rodanya.
Semua mata tertuju pada Langit dan Reina, bukan hanya karena siapa datang bersama dengan siapa, tapi melihat Reina yang memakai kursi roda.
Tatapan iba atau bisik-bisik mencela seolah tidak mengganggu gadis itu. Wajahnya datar tidak menunjukkan ekspresi apapun. Ia memilih buta dan tuli terhada semuanya. Berbeda dengan seorang lelaki yang sangat terusik dengan itu semua, yang mencoba menahan amarah karena tidak mau membuat takut Reina.
Gadis cacat.
Tidak berguna.
Cari perhatian.Reina seolah kebal, karena ia sudah tahu hal seperti ini pasti akan terjadi.
Langit berhenti mendorong kursi roda Reina, menatap nyalang dua orang lelaki yang menghina Reina. Tanpa mengatakan apapun, Langit memberi hantaman telak di wajah pemuda itu. Langit tidak takut jika harus membunuh lelaki di cengkramannya ini. Berpuluh pasang mata yang menonton, tidak ada yang berani menolong. Tidak ingin cari mati berurusan dengan Langit.
Langit yakin tidak akan berhenti menghajar lelaki di bawahnya ini sampai suara Reina menginterupsinya.
" Cukup. " hanya itu, hanya itu yang keluar dari mulut Reina. Tapi cukup meluapkan semua amarah Langit.
Langit kembali mendorong kursi roda Reina, tidak peduli bagaimana nasib orang yang barusan ia pukuli.
Semua mata takjub melihatnya, melihat bagaimana Langit memperlakukan Reina. Satu hal yang tidak pernah dilihat penghuni sekolah dari Langit adalah bersama wanita.
**
Senyumnya hilang tanpa kata, tanpa aba-aba, pergi tiba-tiba. Suara denting piring pada meja siang itu tidak gadis itu hiraukan. Ia kehilangan selera makan sejak tau kakinya tidak bisa ia gerakkan. Tidak ada ekspresi diwajah pucat itu, entah apa yang gadis itu pikirkan.
Langit menghentikan makan siangnya, melihat gadis itu sama sekali tidak menyentuh makanannya. Menghela nafas, lelaki itu memutari meja untuk duduk di samping Reina. Seperti jiwanya entah pergi kemana, Reina sama sekali tidak membuka mulutnya saat Langit menyodorkan sendok berisikan nasi agar gadis itu mengisi perutnya.
" Buka mulutnya. " ujar Langit pelan, ia tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Reina saat ini. Reina membuka mulutnya, Langit tersenyum kecil melihatnya. Sampai suapan kelima, Reina menggeleng tanda ia sudah tidak mau lagi. Langit mengerti, lalu menyodorkan Reina minum untuk melegakan tenggorokannya.
" Rein.." panggil Langit lembut. Tidak ada sahutan, bahkan rautnya masih sama. Langit khawatir akan kesehatan mental gadis itu. Bagaimanapun juga, ia tahu yang di lalui Reina belakangan ini tidak mudah. Tidak menutup kemungkinan pula kesehatan psikis gadis itu terganggu. Lagi-lagi iya menghembuskan nafas lelahnya, besok ia akan menghubungi psikolog untuk Reina.
Langit memutuskan membawa Reina kerumahnya, khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada gadis itu. Ketika di mobil, Langit mencoba membunuh hening dengan memutar musik dari radio. Reina tidak bereaksi sama sekali sampai ia sadar ini bukan jalan menuju rumahnya.
" Anterin gue pulang." ujar Reina datar. Langit terkejut mendengarnya, hampir saja menabrak kendaraan didepannya kalau saja ia tidak cepat-cepat mengendalikan diri.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE FIRST
Novela JuvenilKisah mereka bukan kisah seperti kebanyakan remaja. Bertemu untuk saling membenci, bersama untuk saling mencintai, dan berpisah untuk saling mengerti. Apakah yang berawal dari kehancuran akan berakhir dengan hancur juga? " Bisakah kita cukup salin...