Bagian Sembilan- Mimpi

48 6 8
                                    

Selamat membaca^^
Maaf pendek:(

**

Terbangun dengan perasaan putus asa yang selalu menanti. Menyadari betapa ia tidak berguna di dunia ini. Betapa ia jengah untuk kembali patah, betapa ia lelah untuk kembali hilang arah.

Raga tak berjiwa, menuntunnya dalam gelapnya jelaga. Menatap kosong kedepan, hanya hitam yang masuk penglihatan.

Tubuh ringkih itu meringkuk di sudut ruangan. Berharap ada sedikit saja terang, menghapus pekatnya hitam.

Tubuhnya tremor parah, ia kehilangan arah. Hanya bisa pasrah, menanti jika malaikat maut menjemputnya. Mengantarkannya pada nenek dan ayahnya di surga. Ia malu mengatakannya, apakah ia berhak menempati surga? Sungguh ia merasa ialah mahkluk terhina.

Sebagai anak yang tidak bisa menahan ayahnya agar tidak pergi, untuk selalu sehat sampai nanti.
Sebagai anak yang tidak bisa menahan ibunya agar tetap tinggal.
Sebagai cucu yang tidak becus menjaga neneknya yang sudah renta.
Gadis itu terisak, bahkan sampai mati pun, deritanya tidak berakhir.

Ia lemah.
Tidak berdaya melawan takdir sendirian.

Sampai ia melihat setitik cahaya terang. Hanya setitik tapi mampu menghapus gelapnya hitam. Ia tidak lagi ditengah gulita, cahaya itu semakin mendekat. Semakin dekat semakin ia sadar bahwa itu perwujudan manusia. Seorang lelaki datang mengulurkan tangan padanya. Mengajaknya bangkit. Tapi gadis itu enggan, memilih menunduk membutakan mata.

"Mustahil tuhan menciptakan manusia secara sia-sia. "

Gadis itu mendengar suara. Selembut sutra, menggelitik telinganya.

"Berhenti berfikir dirimu tidak berguna.
Karena kamu adalah alasan satu nyawa tetap didalam raga.

Berhenti menyalahkan dirimu untuk hal yang sia-sia. Bahkan saat kau sudah jadi arang, yang lalu tetaplah hanya bisa dikenang.

Mau ku beritahu? Saat kamu menyalahkan dirimu untuk hal sia-sia tadi, takdir menyaksikanmu. Sambil tertawa bersama nestapa yang kau rasa. Menikmati setiap jerit pilu yang menggema.

Betapa ada anak manusia yang menyalahkan dirinya sendiri, untuk kesalahan yang bahkan tidak ia mengerti.

Betapa ada anak manusia yang selalu ingin mati, disaat jutaan manusia lainnya bekerja keras untuk bertahan hidup.

Aku akan jadi arang, sampai kau benar-benar merasa terang. Agar kau tidak disekap gelapnya hitam.

Aku akan rela terbakar. Agar kau merasa hangat dan aman. Agar kau tidak disekap pekatnya hitam.

Aku akan terus terbakar dan bertahan. Sampai kau sadar, bahwa kau sangat berarti. Bahwa kau pembawa terang sesungguhnya. Bahwa kau pelangi dikala hujan dan badai usai.

Aku akan kepanasan ditengah hangatnya dadaku yang melihatmu tersenyum. Aku akan bertahan sampai kau bangkit dari rebahan. Aku akan bertahan sampai kau menemukan pujaan. Aku akan bertahan, sampai kau menemukan kebahagiaan.

Nona,
Apakah kau mau membantuku?

Tolong aku, dengan membuka matamu. Biarkan aku melihat netra hitam pekat itu.

Cukup buka matamu, untuk sedikit menyingkirkan gelisahku."

Gadis itu tetap diam. Seolah menikmati setiap kata yang ia dengar. Seolah itu sebuah nyanyian, ia semakin terpejam.

"Buka matamu, akan kutunjukkan indahnya dunia. Betapa kau akan merugi jika tidak bisa lagi melihat indahnya senja. Betapa kau akan merugi karena menyia-nyiakan yang masih tersisa didunia."

Perlahan, gadis itu membuka matanya. Perlahan, sedikit silau karena sosok itu terlalu terang.

"Reina, Reina Senja. "

Ia mengenali suara itu. Suara seseorang yang menghancurkan harapan terakhirnya.

Seseorang yang juga menyingkirkan gelapnya.

"Aku akan menuntunmu."

Suara itu semakin jelas. Memintanya keluar. Bagaimana caranya? Ia pun tidak suka berada di antara gelap.

"Aku akan menuntunmu."

Gadis itu mendongak. Melihat siapa si pemilik cahaya terang itu.

Sangat terang, Hanya cahaya bersama siluet manusia yang masuk penglihatannya.

Gadis itu mengikuti si pemilik cahaya, membiarkan jemari hangat itu menuntunnya. Sampai ketempat yang lebih terang, sampai tiba ditepi jurang.

"Hancurlah, sampai kau tercipta kembali. "

Reina merasakan tubuhnya melayang, menunggu sampai tubuhnya sampai ke dasar. Dan semakin hilang ditelan pekatnya hitam

**

Gadis itu membuka matanya. Terengah dengan keringat membanjiri dahinya.

Apa itu tadi?

Dengan sakit dikepala yang merajalela, Reina bangkit dari kasurnya. Mengambil tongkatnya dan berjalan kedapur untuk minum.

Segelas air putih tidak meredakan sakit dikepala. Ia lapar, mendesis saat pusing semakin menyerang.

"Rein, "

"Ngapain lo masih disi-akh! " ucapan gadis itu terganti dengan erangan diujung kalimatnya. Merasakan pusing yang melanda.

"Lo sakit? " tanya Langit, yang tidak perlu dijawab dengan Reina."Laper, ya?"

"Diem si ah, puyeng gue!" seru gadis itu jengkel sambil mengerutkan keningnya.

"Tuh makan. " ujar Langit sambil menunjuk bubur ayam yang entah sejak kapan ada di meja makan kecil itu.

"Jijik."

"Elah, ga gue sentuh sama sekali. " ujar Langit lemah."Itu masih di kresek kan."

"Jijik, gasuka." ucap Reina yang memang sama sekali tidak suka makanan lembek itu.

"Nasi goreng? " tanya lelaki itu, mengerti Reina memang tidak suka bubur ayam. Gadis itu yang benar-benar kelaparan hanya mengangguk, tidak kuasa menolak kala makanan kesukaannya ditawarkan.

***


Maap lama, astaga.
Ku sibuk bgt akhir-akhir ini.
Beneran sibuk, bukan sok sibuk:(

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 05, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE FIRSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang