Bagian Tujuh - Harapan

42 7 8
                                    

Tidak baik menyimpan luka seorang diri.

Tapi, tidak semua luka harus di bagi.

***


Jam istirahat pertama sudah nyaris berakhir tapi Langit tidak juga menemuinya. Tidak menjemputnya seperti biasa, mengharuskan Reina naik angkutan umum seperti awalnya.

Istirahat ini ia tidak kemana-mana. Hanya duduk diam dikelasnya. Tidak membaca buku seperti biasa, tidak memakan juga bekalnya.

Reina sesekali melirik kearah pintu, siapa tahu Langit hanya terlambat dan akan menemuinya. Tapi sampai bel tanda berakhirnya waktu istirahat tiba, Langit tidak juga menunjukkan batang hidungnya.

Kemana lelaki itu?

Akibatnya, sepanjang pelajaran matematika, pikirannya sama sekali tidak disini. Memikirkan Langit yang tidak tau dimana.

" Reina Senja, kamu melamun? " tanya pak Samsul-guru matematikanya.

" Ma-maaf pak. " ucap Reina takut-takut.

" Mikirin apa kamu? Anak dirumah belum makan? Atau ga ada beras dirumah? " ucap guru yang terkenal dengan bicaranya yang pedas. Tidak menghindarkan tawa dari seluruh murid di kelas itu.

Reina hanya menunduk. Kembali meminta maaf.

" Dari pada kamu melamum seperti itu di kelas ini, mending melamunnya dilapangan saja. " ujar guru itu lagi, membuat Reina mendongakkan kepalanya.

" Keluar. Dilapangan sampai pelajaran saya selesai. "

" Tapi pak sa-"

" KELUAR!!! " titah guru itu lagi.

Reina mendesah malas, diluar sedang panas sekali.

Tunggu.

Tadi guru itu tidak menyuruhnya berdiri dilapangan kan? Guru itu hanya menyuruh Reina melamun dilapangan bukan? Baiklah, ini tidak terlalu buruk. Reina hanya perlu melamum saja dilapangan, oh tidak, dipinggiir lapangan. Cari tempat teduh.

Reina kembali mengukir senyumnya, menuruni tangga hati-hati. Tidak apa ia diusir dari kelas, lagipula, ia sedang tidak mood belajar.

Senyumnya masih belum hilang sampai ia melihat seorang lelaki bermandi keringat ditengah lapangan. Reina menyipitkan matanya, yakin tidak salah orang.

" Langit. " panggil Reina saat jaraknya dan lelaki itu tidak begitu jauh.

" Eh, Rein. Ngapain lo? " tanya Langit, menurunkan tangannya dari dahi.

" LANGIT! TETAP DALAM POSISI HORMAT! " seorang guru berbadan tambun meneriakinya. Langit berdecak sebal karenanya.

" Iye pak, ah. " gerutu Langit.

" Dihukum ya? "

" Engga kok, gue lagi sarapan nih. " jawab Langit asal, yang dibalas tertawa oleh Reina.

" HEI, KAMU NGAPAIN BERDIRI DISITU?! " lagi-lagi guru itu berteriak lantang. Jaraknya dan mereka memang tidak bisa dibilang dekat.

" Pak teriak-teriak terus sih, ah. " ucap Langit, cuacanya panas sekali sekarang. Dan guru itu berteriak terus daritadi, Langit gerah sekali.

" Saya di hukum juga pak, melamun pas pelajaran. " ujar Reina, lebih dulu menjelaskan. Antisipasi kalau guru itu berteriak lagi. Guru itu  mengangguk sebagai jawaban.

" Napa ngelamun? Mikirin gue lo? " tanya Langit, telak.

" Geer dih. " elak Reina, tidak mau lelaki itu ke geeran.

THE FIRSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang