8

26 8 2
                                    

Aku liat Gerhana sama cewek lain. Kata-kata itu terus terngiang dalam benakku. Aku menatap hampa tembok kelasku. Bingung, tak tau harus bagaimana. Tapi, kenapa mereka berpegangan tangan, seperti membahas sesuatu yang serius. Aku semakin menatap nanar tembok di hadapanku ini. Namun, tatapan itu seketika buyar tatkala ada seseorang tiba-tiba menepuk bahuku dari belakang.

"Kamu lagi ngelamunin apa sih?" Tanya Gerhana penasaran. Ternyata orang yang  menepuk bahuku ialah yang juga sedang membayangi pikiranku.

Aku menghela napas hanya menggeleng tersenyum.

"Bohong! Kalo cewek bilang tidak, berarti iya."

"Sok tau kamu. Belajar kayak gitu dari siapa?"

"Galaksi, hehe..."

Aku sebenarnya sedang tidak mood untuk bercanda. Tapi, aku berusaha memakai topeng untuk menutupinya. Dalam hati, sebenarnya aku ingin menanyakan hal itu. Tapi, aku takut akan menyinggung perasannya. Benar, kini ketakutan lebih mendominasiku mengalahkan keberanian. Akhirnya, aku hanya bisa diam, memendam semua rasa penasaran.

"Hey, are you okay?" Tanya Gerhana memastikan.

Mungkin Gerhana sedikit tidak percaya pada penuturanku. Aku akui dia memang peka. Dia tau jika saat ini aku sedang memakai topeng untuk menutupi rasa penasaranku. Tapi, dia tidak memaksaku sedikitpun untuk menceritakan semuanya. Dia paham apa yang harus dia lakukan sekarang.

"Hmm." Jawabku singkat.

"Yaudah, aku pergi dulu. Mungkin saat ini kamu lagi pengen sendiri."

"Makasih." Kataku.

🌛🌜

Saatnya pergantian jam pelajaran. Aku memutuskan untuk pergi ke toilet sendirian. Sekembalinya, di tengah perjalanan, aku melihat sahabatku dan pacarku berdiri saling berhadapan seperti membahas sesuatu yang pelik. Aku melihat dari kejauhan, jadi tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan dengan jelas. Tapi, satu hal yang membuatku terjingkat seketika.

Plakkk...

Hah? Apa yang Gerhana lakukan? Apakah dia sudah tak waras? Gumamku.  Aku tak bisa menahan semuanya. Amarahku memuncak seketika hingga bulir bening yang menetes dari pelupuk pun tak terasa. Aku tak tega melihat sahabatku menangis karena disakiti oleh sosok pengganti Angkasa. Aku langsung menghampiri keberadaan mereka berdua.

Plakkk...

Aku melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Gerhana terhadap Mentari. Ia nampak begitu kaget sembari menatapku seakan tak percaya dengan tangan kanan menyentuh pipi yang kutampar tadi.

Itulah balasan yang setimpal untuknya. Menyakiti sahabatku sama saja menyakitiku. Aku bersumpah akan murka jika ada seorang saja yang menyakiti sahabatku, sekalipun itu pacarku sendiri. Tidak dapat dipastikan, bahwa aku akan bisa memaafkannya atau tidak.

"Beberapa hari ini, aku telah sabar memendam semuanya. Tapi, kenapa kamu menyakitinya? Aku gak habis pikir sama kamu." Aku mengutarakan semuanya dengan nada penuh amarah lalu membawa Mentari pergi. Dan membiarkannya terus memanggil namaku. Aku tak peduli. Persetan dengannya.

Aku juga tak tahan untuk tidak meneteskan air mata. Ini sangat membuatku murka. Aku tak bisa memaafkan ini. Dia begitu tega menyakiti secara fisik terhadap perempuan. Dan perempuan itu adalah sahabatku sendiri. Pacar sahabatnya sendiri.

Setelah emosi mulai mereda, aku mulai menanyakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Perlahan Mentari  mulai bercerita. Ia memberi petuah kepada Gerhana agar ia bisa benar-benar menjaga hatinya untukku sesulit apapun kondisinya. Dan Gerhana pun menjelaskan padanya bahwa sosok kemarin itu adalah mantannya yang hanya ingin mengucapkan salam perpisahan kepadanya karena hendak pindah ke luar negeri. Dan Mentari memberinya nasihat lagi agar ia tidak bersikap berlebihan dengan mantannya hingga berpegangan tangan. Mentari pun juga jujur mengatakan pada Gerhana bahwa ia telah menceritakan hal itu padaku. Mungkin dari situlah Gerhana ingat kenapa aku bersikap aneh padanya.

Tapi haruskah dengan menampar Mentari?? Banci!
Aku benci laki-laki seperti itu. Kasar!

Akhirnya, mendaratlah tamparan itu ke pipi Mentari. Tamparan yang mengartikan sebuah kalimat 'kenapa kamu menceritakannya'. Entah itu secara refleks atau tidak, tapi itu adalah fakta yang sangat menyakitkan bagiku. Aku jadi berpikir apakah dia pernah sekasar itu pada orang lain sebelumnya tapi aku tak tau akan hal itu?

"Makasih karena kamu udah peduli banget sama aku. Tapi, aku minta satu hal.." Aku meraih tangan Mentari. Menggenggamnya dengan raut wajah penuh harap padanya.

"Jangan ceritakan masalah ini sama Galaksi ya? Aku tak ingin persahabatan mereka hancur. Tapi, aku janji akan segera menyelesaikan masalah ini dengan Gerhana." Lanjutku pada Mentari.

"Pleasee...." Pintaku.

Mentari mengangguk dan tersenyum padaku. Akupun balas memeluknya erat penuh rasa yang mana tak bisa kuungkapkan melalui kata-kata.

Aku selalu bersyukur, memiliki sahabat seperti Mentari. Selain baik, dia juga salah satu sahabat yang begitu perhatian. Dan mungkin sayang padaku. Sampai ia rela harus tersakiti hanya karena ingin aku bahagia.

Untungnya Mentari mau menurutiku. Dan Galaksi tak akan tau masalah ini. Yang jelas, Mentari sekarang sudah tidak mau lagi dekat dengan Gerhana.

🌛🌜

Aku kini melajukan motorku pulang ke rumah setelah seharian penuh berada di sekolah. Di jalan, pikiranku selalu terbayang oleh dua kejadian itu— pertemuan Gerhana dengan mantannya dan tamparan yang didaratkannya pada Mentari. Bulir bening sedari tadi tak berhenti membasahi pipi. Aku tidak fokus dan pandanganku menjadi kabur seketika.

Brakkk...

Mendadak semuanya gelap. Aku merasakan sakit disekujur tubuhku. Sekilas kudengar seseorang berteriak meminta tolong. Lalu, aku merasakan suasana hiruk pikuk di sekitarku. Tubuhku terasa seperti melayang entah hendak dibawa ke mana. Aku benar-benar lemas hingga aku kehilangan kesadaran dan tak tau apa-apa lagi setelahnya.

🌛🌜

Fiuhhh😅
Satu part lagi end😉
Insyaallah nanti up deh jam 00.00, wkwk...

See u in last chapter, bye😂

Langit Bercerita | MSS 1 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang