Bumi terlalu sempit untuk dipijak. Hingga tak ada celah untuk tidak bertemu. Tak butuh puluhan meter dari pintu, kau sudah berdiri dengan pandangan tepat di manik mataku. Pula, di malam yang menuntutku lelap, justru harus berhadapan dengan mata elangmu. Saling terpaku pada kebetulan belaka dan membisu pada takdir yang luar biasa.
Sebenarnya, aku tak sepenuhnya membisu. Otak sibuk menerka setiap peluang yang menimbulkan kegelisahan. Bahwa mata elang darimu akan berakhir di secarik kertas kumal atau malah episode-episode berkepanjangan. Namun, jawabanku bahwa kau adalah angin yang tak ada lagi jalan pulang yang singgah sesaat di hatiku.
Maka berhentilah untuk tidak mengekorku, menguntitku, bahkan jangan sampai kau menatapku penuh arti. Karena dari dulu aku benci tatapan seperti itu. Tatapan yang bisa meracuni kapan dan di mana saja aku menapak. Jadi berhentilah, agar aku tak perlu berlagak menjadi diriku yang baru dan sepenuhnya menjadi aku yang dulu.
Lorong Kebencian| 15 Agustus 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika ✔
PoetrySebuah catatan perjalanan yang berakhir sama. Tenggelam dalam kedinamisan waktu sehingga setiap lembarnya mengusik cerita tempo dulu.