Aneh. Semesta kini memihak padaku dan membiarkanku menikmati hari yang kian merekah. Bak semerkah matahari siang ini. Sebab aku telah resmi menjadi bagian dari lubang itu. Lubang yang pernah kudefinisikan tempo hari. Bahwa aku terpikat di sana.
Di saat yang bersamaan, aku mendapatimu berdiri di bawah payung aneka warna milik si penjajah makanan. Aku sebelumnya tidak mengetahui bahwa kau bersembunyi di sana. Namun, instingku tertarik kuat untuk melangkahkan kaki ke tempat kau berdiri menatapku tajam.
Aku menetralkan bagaimana degup jantungku dengan cara becanda dengan sobatmu. Ya, dengan sobatmu, tidak denganmu. Bagaimana bisa? Karena menatapmu saja membuatku mati rasa. Padahal aku sendiri yang bersikeras untuk melangkahkan kaki ke tempat ini.
Menit berjalan semestinya. Kau mulai memasuki duniaku, tertawa, dan menatapku di balik topengmu. Percaya diriku memang berlebihan tapi pada dasarnya kau menatapku. Kucoba untuk tidak menganggapmu ada. Di saat itulah,
"Namamu siapa?"
Pinggiran Jalan| 19 September 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika ✔
PoetrySebuah catatan perjalanan yang berakhir sama. Tenggelam dalam kedinamisan waktu sehingga setiap lembarnya mengusik cerita tempo dulu.