Sebelumnya aku hendak bertanya, entah pada siapa yang sedia menjawab. Mengapa semesta memperlihatkan sosoknya lagi kepadaku? Setelah aku telah membangun pagar penuh duri untuknya. Setelah skenario rumit yang dikirimkan untukku awal Februari lalu. Setelah aku menjadi serpihan kayu di hadapannya. Setelah aku mulai melupakan segalanya, apapun yang berurusan dengannya. Mengapa semesta memperlihatkan sosoknya lagi?
Aroma sosis panggang serta lambaian dari mentari yang hendak beristirahat adalah hal paling kudambakan sehari penuh. Setelah bergelut dengan tuntutan tugas. Namun, entah siapa yang membisikkan rayu di telinga, aku menikmati senja saat itu dengan mengulang kisah-kisah yang berurusan denganmu. Bodohnya, aku masih menanti kau hadir kembali dan memenuhi catatan tidak penting ini.
Dan siapa pun kalian, jangan pernah meremehkan isi otakku. Sebab yang bergumul di dalam otakku selalu terlaksana. Seperti halnya yang terjadi senja tadi. Semesta mengirimkan kehadiranmu. Melewatiku yang kalang kabut serta mencerna pertemuan singkat tadi. Bahkan kau memberikan tatapan tak percaya kepadaku yang termenung di bangku plastik.
Jika yang kupikir, pelangi akan memenuhi langit jingga di sana, itu salah. Kau tidak menyapaku, melukis senyum, atau yang teramat kuinginkan agar kau duduk menikmati sosis panggang dan senja bersamaku. Sebab, ya begitu. Kau tengah memboncengkan cewek wow tempo lalu. Yang lagi-lagi kuamati rambutnya yang badai tertiup angin sore. Hanya saja terlihat lebih lurus dan panjang. Oh ya, juga sedikit semir coklat. Hm.
Persinggahan| 10 Agustus 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika ✔
PoesíaSebuah catatan perjalanan yang berakhir sama. Tenggelam dalam kedinamisan waktu sehingga setiap lembarnya mengusik cerita tempo dulu.