Keping 3 : Syukur dibalik sesal

42 3 0
                                    

Hari ini aku resmi menyandang gelar Sarjana. Rasa bahagia itu begitu melimpah, sebab teman-teman seperjuanganku juga berhasil menyelesaikan studinya besama. Ya.. sejak aku kehilangan kesempatan meraih cita-citaku, aku giat dalam menimba ilmu. Namun hari ini, perjuanganku terbayar sudah, terlebih aku berhasil menduduki peringkat 10 besar lulusan dengan nilai terbaik. Cukup memuaskan untuk diriku yang terbilang tidak terlalu pintar.

Satu persatu nama dipanggil untuk maju dan di wisudakan. Aku memperhatikan sekeliling, raut-raut wajah bahagia dan puas dengan apa yang mereka raih. Aku yakin sebagian besar bahkan hampir semua orang disini sedang berbahagia.

Lautan manusia berpakaian cantik berbalut toga hitam khas wisudawan terlihat sewarna, memenuhi gedung aula sambil mengikuti rangkaian acara khidmat yang hanya akan dirasakan satu kali dalam seumur hidup khususnya untuk mereka yang mungkin hanya akan mengakhiri studinya pada jenjang ini dan tidak berniat melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Syukurku bertambah ketika melihat raut wajah tua itu tersenyum bangga padaku. Ibu dan Bapak , menyambutku dengan pelukan hangat yang begitu jarang ku rasakan. Aku menyambut pelukan itu dan tidak menyia-nyiakannya. Hangat punggung ayah dan ibuku entah kapan aku terakhir merasakannya, semua masih terasa begitu sama. Sejenak aku hanyalah gadis kecil yang sedang jatuh dalam pelukan Ibu dan Bapak.

Sadarku, banyak memberi luka untuk mereka. Cita-cita yang inginkan dulu, meski begitu mengecewakan sebab tak dapat meraihnya, aku berharap hari ini mengobati rasa kecewa itu. Hanya ini yang dapat ku berikan untuk mereka, aku menyadari tak ada yang dapat ku lakukan untuk membahagiakan mereka selain menjadi seperti apa yang mereka inginkan.

Dalam suasana pada umunya, para wisudawan dibanjiri ucapan selamat dari sanak sudara dan rekan-rekan terdekatnya. Sedikit berisik dalam hatiku, sebab tak terlihat seorangpun datang menyelamatiku selain Ibu dan Bapak. Pikirku, mungkin karena sahabat-sahabatku lulus di saat yang bersamaan. Tak apa, setidaknya aku bisa pulang lebih cepat dari mereka yang harus menyambut rekan-rekannya yang datang menyelamati. Begitulah, hiburku dalam hati untuk aku yang melewatkan moment wisuda tanpa setangkaipun bunga di tangan.

Tuhan, terimakasih... Tanpa-Mu aku takan memiliki kekuatan sebesar ini untuk tetap menjadi diriku sendiri.

*****

Senandika (Dialog-dialog Hati)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang