Kita pernah berdiri berdampingan menatap swastamita yang menguning kemerahan. Merangkai asa dan rencana, bercengkrama dibawah lembayung beralaskan pasir putih. Aku sembunyi menatapmu yang tersenyum kepada lautan. Bersiap esok melepasmu lagi. Bersamamu mungkin singkat, namun syukurku tak pernah bersekat.
*****
Sekuat apapun kamu bertahan, sebesar apapun harap dalam hatimu, yang ditakdirkan pergi tidak akan pernah bisa kembali lagi. Sebab waktu mampu melakukan apapun dalam dimensinya, yang dekat terhalang sekat, yang rindu berbalas sendu. Sesakit itu perpisahan, sehampa itu kehilangan.
Di dunia ini, segalanya adalah titipan, begitu pula hatinya. Mau kau keluhkan hingga menangis dan meraung-raung, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang telah diambil oleh-Nya.
Tuhan memiliki kuasa atas segala hati manusia yang berada di atas tangan-Nya. Membolak-balikan hati sesuai dengan kehendak-Nya. Hatinya adalah milik-Nya, juga hatiku. Lantas, tak ada usaha yang dapat ku lakukan selain meminta kepada pemilik-Nya, antara mengembalikan hatinya untukku, atau mencabut namanya dari dalam hatiku.
Sebab di pelupuk mata yang telah sembab, kehilangan binar cahaya akibat rinai yang yang tak sempat di seka. Cinta yang terlanjur di buat pahit, memaafkan menjadi hal yang rumit.
*****
Pada akhirnya, aku mengalah pada hati yang terus menerus menangis. Bertengkar dalam takdir yang tak begitu aku sukai. Pikiran dan hati tak kunjung berdamai, berkecamuk dalam rasa dan keputus asaan. Aku mengalah pada diriku sendiri, membiarkannya pergi dan memaksa diriku tetap berdiri meski ia mematahkan langkahku.
Juga harap yang telah ku buat lenyap, tanpa lagi menyebut namanya dalam lantunan doa yang selalu ku langitkan. Bukan tak ingin, tapi aku menyadari bahwa takdir tak akan bisa membawanya kembali padaku.
Perpisahan, meski di hias seindah apapun tetaplah perpisahan. Tidak ada perpisahan yang berbahagia. Kecuali berpisah dengan sesuatu yang pertemuannya tidak kau ingini.
*****
Mataku sudah cukup bersaksi malam itu. Syukurlah, kini aku tahu alasannya pergi, dan aku terbebas dari rasa bersalahku.
Sesosok rupawan yang kini menjadi alasannya tersenyum, cukup menghentikan asaku untuk berjuang berjalan disampingnya sekalipun bayanganku tak lagi terlihat olehnya. Dalam setiap risau dirinya yang ku saksikan, sulit menepis rasa khawatir meski tahu sudah ada bahu untuknya bersandar. Aku menahan pedih berulang kali, yang membuatku menyadari bahwa mencintainya sendirian tak mampu membuatku merasa baik-baik saja.
Aku terlalu malu untuk berharap lagi tentangnya, terlebih aku bukanlah sosok yang membuatnya tersenyum seperti saat ini. Ketidak mampuanku untuk menjadi seperti yang ia harapkan, menghukum diriku atas apa yang tidak aku miliki yang ada pada sosok yang ia cari.
Bercermin aku dan bertanya, "apakah pantas aku berada disampingnya?" , dan yang ku lihat hanya sesosok wanita dengan wajah penuh kepalsuan. Senyumnya menutupi ribuan luka yang ia peram, menatapku dengan mata sayu yang nyaris tak punya harapan.
Aku berdialog dengan diriku sendiri. "Kau sebenarnya tahu, tapi menurutku diam adalah adalah cara terbaik. Kau bisa saja marah padanya, tapi menurutku diam tetaplah cara terbaik. Bicara pada seseorang yang telah memberi jarak jauh hanya akan membuat pita suaramu putus. Lelah bukan? Berteriak bagaimanapun juga suaramu tak akan pernah sampai di telinganya". Dalam hening tak henti memberi petuah diri, berharap termotivasi dan segera bangkit kembali.
Siklus kehidupan makhluk memang begitu. Untuk bertahan hidup kau harus makan atau dimakan.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika (Dialog-dialog Hati)
Storie d'amorejika ingin bertanya tentang aku, berdialoglah dengan setiap tulisan-tulisanku. Sebab aku bisu sejak hari kau anggap perasaanku bukan hal penting untukmu. Inilah diriku, selepasmu.. . Sebuah diary - Di adopsi dari kisah sepasang kekasih yang kini sal...