Ada masanya dimana Guanlin sama Giyeon berantem, berbeda pendapat dan sama sama enggan mengalah.
Tapi kini bedanya bukan kata putus lagi yang akan terlontar. Mereka sudah sama sama dewasa, sudah sama sama mengerti bahwa mereka telah terikat satu sama lain dibawah janji suci yang diucapkan setengah tahun yang lalu.
Sebisa mungkin Guanlin dan Giyeon akan menghindari kata pisah.
"Udah lah, lin, capek bahas ini mulu! Bukannya dari awal kita sepakat buat nggak ributin soal ini?!" Ungkap Giyeon kesal.
"Apa salahnya sih nyoba? Gue ngerasa kayak bukan suami lo" Guanlin berusaha ngerendahin suaranya.
"Kok gitu sih?! Dari awal lo yang bilang lo mau nungguin gue siap, mana?! Ngomong doang!" Sungut Giyeon
"Udah setengah tahun, Gi! Lo sadar nggak sih?! Itu tu udah kewajiban lo! Harusnya istri tu kerjanya dirumah, ngelayanin suami! Lagian gaji gue cukup kok ngebiayain lo sampe ke anak anak kita nanti" eyel Guanlin
Salah besar. Ucapan Guanlin bener bener mancing emosi Giyeon keluar.
"Oh?! Sekarang merembet ke kerjaan gue segala? Oh gitu.. iya?! Jadi menurut lo gelar gue pantesnya cuma dipake di buku undangan doang, iya gitu?!"
Amarah Giyeon meluap, suasana makin panas pas Guanlin mukul tangannya kearah tembok.
"Gi! Please lah! Gue cuma mau lo tu nggak usah capek capek kerja. Biar gue yang kerja, toh itu tanggung jawab gue. Apa salahnya sih gue pengen lo nggak capek dan nikmatin hasil kerja gue?! Salah?!"
"SALAH! Hargai perjuangan gue dong lin tolong--" mata Giyeon mulai memerah, tatapannya ke Guanlin masih sama. "Lo tau kan perjuangan gue masuk kedokteran gimana? Lo tau kan gimana gue bontang banting nguatin diri biar bertahan sama pilihan gue? Mana sih Guanlin gue yang selalu support keputusan gue?! Mana Guanlin gue yang katanya selalu ada di sisi gue?! Mana?" Satu persatu, air matanya Giyeon mulai ngebasahin pipinya.
Salah satu kelemahan Guanlin. Ini yang Guanlin benci kalau harus berdebat sama Giyeon. Giyeon nangis, gara gara dia.
Guanlin ambil nafasnya panjang, "oke, kalo itu mau lo, gue turutin. Maaf udah buat lo nangis" Guanlin natap Giyeon beberapa saat. Mata mereka saling bertemu, sayangnya Guanlin lebih milih mutusin kontak matanya lebih dulu.
Cowok itu memilih keluar dari kamarnya, duduk di sofa ruang tengah berusaha mengontrol emosinya.
Sedangkan Giyeon masih memilih menangis, meluapkan kekesalannya. Tidak lama, hanya butuh 10 menit bagi Giyeon untuk menangis, kali ini ia memilih diam untuk berfikir jernih tentang masalah ini. Gadis itu menarik beberapa tissue, mengelap bekas bekas air mata yang masih menempel di pipinya.
Gadis?
Iya, gadis. Giyeon masih seorang gadis.
Dan iya, disinilah akar permasalahannya. Giyeon belum siap melakukan hal 'itu', bahkan setelah sekian bulan lamanya.
Mungkin Guanlin benar. Cowok itu sudah cukup lama bersabar untuk 'hak'nya. Giyeon saja yang selalu menunda untuk melakukannya.
Embel embel tidak siap selalu menjadi alasan ampuh yang mampu membuat Guanlin meluluh. Walau selalu ada perdebatan, tapi lagi lagi Guanlin akan tetap mengalah dan membiarkan gadisnya menang.
Permintaan Guanlin sebenarnya bukan hanya sekedar ingin melakukan 'itu' tapi Guanlin ingin sekali punya sosok mini versi dirinya atau Giyeon?
Satu dua temannya mulai menyusul menikah, banyak pula dari mereka yang sudah menimang momongan. Apa salah Guanlin menginginkan hal yang sama? Toh memang dari kedua pihak orang tua juga sudah mulai meminta minta cucu untuk ditimang.