When You Fall

10K 218 17
                                    

Paris, 24 Desember.

Salju turun memenuhi kota. Butir putihnya menutup setiap sudut tanpa kecuali. Amat dingin ... tapi juga hangat. Bukan karena sinar mentari atau suhu udara yang mencairkan dingin. Namun, karena suasana nyaman yang beriring dengan musim dingin.

Sebaran kelip-kelip lampu bersama kristal salju. Menghias warna putihnya dengan berbagai warna ajaib. Ditambah dengan nyala lilin yang terpasang, baik di gereja maupun pusat kota sebagai tanda doa. Dan jangan lupakan gemerincing lonceng. Berbunyi merdu di tengah hiruk pikuk dunia. 

Seperti satu afirmasi terhadap hari Natal, tiap penduduk makin berlomba-lomba dalam menghias rumah dan mempersiapkan jamuan. Penuh tawa dan ceria. Membuat seorang wanita yang berada di dalam kafe ikut tersenyum karena pemandangan indah di luar kaca.

Wanita itu merasa bahagia saat melihat nuansa Natal yang jelas terpapar di depan netra birunya. Sesekali, ia mendekatkan wajah. Ingin mengamati lebih jelas puluhan pasangan yang sedang merayakan christmast eve bersama.

Hah ... kenapa juga aku harus berada di luar rumah saat Malam Natal begini?! Jika bukan karena perjodohan konyol yang diatur Nenenda, mana sudi aku datang ke tengah kafe yang berada di pusat kota Paris! Kota dengan julukan cinta ini!

Garis senyum wanita itu perlahan menghilang. Begitu mengingat soal perjodohan yang akan dijalaninya hari itu, ia menjadi kehilangan seluruh semangat dalam diri. Diembuskan napas pelan untuk mengurangi rasa kesal. Lalu, diambil cangkir kopi dan diseruputnya perlahan.

Sebenarnya, aku tidak merasa keberatan dengan status sendiriku yang berjalan hampir tiga puluh dua tahun ini. Aku juga tidak merasa iri dengan tiap pasangan yang selalu menunjukkan kemesraan dengan amat kentaranya. Sebaliknya, aku merasa ikut senang melihat mereka. Tapi, kenapa semua orang selalu berkata bahwa diriku ini menyedihkan?

Trak!

Suara cangkir kopi yang baru diletakkannya membuat kesadaran wanita itu kembali. Sedikit melihat kanan dan kiri. Baru, setelah memastikan bahwa tidak ada pengunjung lain yang memperhatikan kecerobohannya, wanita itu kembali melihat luar. Menopang kepala dengan satu tangan. Kembali masuk dalam substansi pikiran yang rumit.

"Apakah aku benar-benar menyedihkan?" tanyanya pada pantulan diri di kaca. Namun, wanita itu tidak menerima jawaban. Bayangan dirinya hanya balik menatap dengan raut sama. Penuh tanya dan kecewa ....

Ya, wanita itu merasa kecewa dengan pandangan orang-orang. Menilai dirinya sebagai wanita kuat dan keras kepala, tanpa mau repot mengenal lebih dalam. Mungkin semua akibat penampilan dan wajah kakunya.

Kedua sudut mata tajam dengan alis cokelat tebal. Ditambah dengan kulit dan bibir tipis pucat yang bagai mayat. Dan karena wanita itu memulaskan tebal lipstik berwarna merahnya, membuat wajah berbentuk oval tersebut makin terlihat tegas. Benar-benar jauh dari kata manis dan lucu.

"Ah, kata-kata seperti itu ... mana pernah aku dengar sepanjang hidup," gumamnya pelan.

Tapi, aku tidak lagi punya banyak pilihan, 'kan? Wajah semacam ini, jika aku padukan dengan pakaian perempuan yang feminin, maka tidak akan pernah cocok. Aku ... hanya pantas memakai pakaian serba gelap seperti sekarang.

Sweter dan rok pensil berwana abu. Diselimuti jaket dan scarf berwarna hitam. Terlihat amat pas dan ... suram.

"Hah ... pria nanti juga sepertinya akan sama saja. Bicara seolah aku ini adalah wanita mandiri kuat yang tidak membutuhkan siapa pun. Padahal nyatanya ... pandangan merekalah yang menjadikan diriku kuat. Membuat aku ... berubah menjadi wanita yang sama seperti dalam pemikiran mereka," lanjutnya dengan suara berat.

[End] Ending SceneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang