Wajah Arif tak menyiratkan kebahagian sedikit pun. Arifa memperhatikan Arif yang baru saja masuk berjalan ke arahnya. Arifa bangkit lalu duduk menatap Arif yang juga sudah duduk di sampingnya. Arif menatapnya dengan tatapan sendu sedangkan bibirnya tidak tersenyum.
Berbagai pertanyaan mulai muncul di benak Arifa. Apakah Arif belum siap menjadi ayah ? dia tidak bahagia ? Arifa takut Arif akan mengatakan sesuatu yang mungkin akan menyakiti hatinya. Seperti Arif tidak menginginkan anak ini misalnya. Pikiran macam apa ini. Astaghfirullah ia cepat beristighfar karena telah berprasangka buruk pada suaminya sendiri.
“maaf” ucap Arif dengan tatapan sendu membuat pikiran negatif tadi kembali datang.
Kenapa ia meminta maaf ? entah kenapa kata maaf yang keluar dari bibir Arif barusan begitu menyakitinya. Baginya itu sebuah bukti kalau Arif menyesal dan tak menginginkan hal ini.
“kenapa” tanya Arifa dengan suara bergetar.
“aku sangat egois..” apa maksudnya, apanya yang egois ? Arifa mulai bingung. Tampak air mata Arif mulai menetes.
“aku bahagia bahkan sangat. Ini terlalu cepat dan tidak di sangka tapi aku tetap bahagia” ucap Arif lagi sedangkan Arifa belum paham maksud Arif yang sebenarnya.
“maksud kamu apa aku tidak mengerti” tanya Arifa bingung.
“aku membuatmu hamil secepat ini, kita bahkan belum lulus” Arif menunduk dan menangis.
Jadi ketakutan yang Arifa rasakan tadi hanya ketakutan tak berdasarnya saja. Arif justru begitu memikirkan perasaannya saat ini. Arif takut justru ia lah yang belum siap di sini. Melihat Arif menunduk dan menangis membuat hatinya ikut sedih. Kemudian dia memajukan tubuhnya kemudian menarik dagu Arif agar menatapnya. Ia menghapus air mata Arif lalu memeluknya.
“aku juga bahagia jadi jangan menangis. Kenapa berfikiran begitu. Aku akan menjadi seorang ibu mana mungkin aku tak bahagia” ucap Arifa lembut membuat Arif menegakkan tubuh dan menatapnya.
“tapi sekolah bagaimana, cita-citamu juga, kau akan menjadi dokter kan kuliahmu bagaimana?” ucap Arif cepat.
“aku akan tetap sekolah. Bu bidan bilang selagi aku mampu tidak apa-apa dan hamil bukan berarti tidak bisa kuliah juga sayang” ucap Arif menangkup pipi Arif.
“aku bahagia dan aku tidak merasa terbebani kok. Jadi jangan merasa bersalah hmm” ucap Arifa lagi.
“tapi nanti kamu capek” ucap Arif dengan nada rengekan.
“kalau nanti aku capek kamu mau kan pijitin aku, hehe” ucap Arifa lalu terkekeh.
“tentu saja. Mulai sekarang aku akan mijitin kamu setiap hari” ucap Arif lalu memeluk Arifa dan mereka pun tertawa setelahnya.
“terima kasih sayang.. aku mencitai mu” ucap Arif lembut menatap Arifa dalam pelukanya.
“aku juga mencintaimu” mereka pun saling melempar senyum dan kembali berpelukan.
“sehat-sehat ya anak abi.. abi sayang kamu” ucap Arif mengusap perut datar Arifa kemudian menciumnya.
“iya abi IsyaAllah adek sehat kok.. adek juga sayang abi” ucap Arifa menirukan suara anak kecil dan mereka pun tersenyum.
Dikehamilan pertamanya ini Arifa memang tergolong kuat. Jika biasanya calon ibu lain akan mengalami mual dan muntah sampai tak bisa melakukan apapun di tiga atau empat bulan pertama, Arifa justru sebaliknya.
Ia dapat bersekolah seperti biasa.Untuk menutupi perutnya yang mulai membesar ia selalu memakai jaket besar dan lebih memanjangkan jilbab dari biasanya. Arif jadi lebih protektif. kalau biasanya mereka pergi sekolah naik bus, sejak tahu Arifa hamil Arif lebih memlilih memesan taksi supaya aman karena di bus begitu sesak dan padat bahkan tak jarang mereka harus berdiri karena tidak dapat tempat duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIF & ARIFA
Teen FictionArif dan Arifa dua sahabat yang harus menikah karena suatu hal saat masih sma dan berusia 17 tahun tanpa di ketahui oleh keluarga Arif. Perlahan rasa sayang sebagai sahabat berubah menjadi cinta tanpa mampu mereka cegah. Saat mereka saling mencintai...