10 SIDANG

121 6 0
                                    

Papa Arif tampak menatap putri sulungnya dengan mata garang membuat sang anak tak berani menatap balik pada mata sang papa. Sedangkan mamanya pun tak kalah garang menatap sang putri. Rasanya seperti menjadi terdakwa sebelum sempat menjadi tersangka. Dua pasang mata itu ibarat hakim yang siap menjatuhi hukuman mati padanya.

Nisa tahu. Arif mengabarinya tadi malam kalau dia sudah menceritakan semua pada kedua orangtua mereka itu. Sudah jelas dia akan di marahi karena lebih dulu mengetahui fakta ini namun tidak langsung mengatakannya.

Nisa yang tadi malam tidak pulang karena harus ujian lab sampai malam mengharuskannya tidur di kost temannya yang dekat dari kampus, di telpon pagi-pagi sekali oleh sang mama untuk langsung pulang saat itu juga. Dan di sinilah dia sekarang, duduk di depan dua hakim yang tampak sangat marah baginya.

“kamu juga membohongi  kami ?” tanya papa dengan nada pelan namun jelas kemarahan di dalamnya.

“kamu sudah tahu tapi kamu diam” lanjut papa.

“paa..” Nisa ingin menjawab tapi papa melanjutkan ucapannya lagi.

“bahkan seminggu yang lalu kamu menemuinya dan pulang seperti tak terjadi apa-apa” nada suaranya mulai meninggi.

“adik kamu itu buat malu keluarga kamu diam saja!” bentak papa padanya. Nisa tampak menunduk dan seperti akan menangis namun dia menahannya.

“jawab papa Nisa! Tidak seharusnya kamu menyebunyikan kesalahan Arif dari kami” ucap sang mama tak kalah tinggi.

“perempuan itu pasti sudah merusak Arif” ucap sang papa lagi membuat Nisa mengangkat kepalanya.

“Arifa gadis baik-baik pa..” ucap Nisa menatap papanya. Sang papa makin marah karena Nisa membela Arifa.

“Nisa tahu papa dan mama syok dan juga marah mendengar ini karna Nisa juga begitu pada awalnya..tapi saat melihat mereka kemarin Nisa juga tahu Arif benar-benar mencintai Arifa dan begitupun sebaliknya. Arif sudah dewasa biarkan dia menentukan kabahagiannya sendiri pa” ucap Nisa sedikit lemah berharap emosi sang papa dapat mereda.

“cinta dan dewasa kamu bilang ? Arif itu masih anak kecil berseragam abu-abunya. Anak kecil kaya dia mana ngerti cinta ,terlebih gadis itu yatim piatu dia pasti ingin uang Arif” bukan mereda malah emosi sang papa bertambah naik.

“paa.. Arifa tidak seperi itu dan umur bukan jaminan seseorang dewasa atau tidak, papa tahu itu” Nisa tampak ikut emosi dan suaranya mulai naik membuat sang papa marah dan menamparnya.

PLAK!

“PAPA” teriak sang mama pada suaminya yang baru saja menampar Nisa.

Tangan sang papa masih menggantung di udara setelah berhasil menampar anak gadisnya itu untuk pertama kalinya. Sedangkan Nisa memegang pipinya yang nyeri setelah mendapat tamparan dan menatap tak percaya pada sang papa.

“jangan ngajarin papa” ia menurunkan tangannya menatap Nisa yang kesakitan akibat tamparannya.

“papa jangan kasar” mama memeluk Nisa dan mengelus pipinya yang sudah merah dengan sayang. Semarah apapun ia, ia selalu berusaha untuk tidak pernah main tangan pada anak-anaknya selama ini. 

“jadi kamu membela dia sekarang” ucap papa marah pada sang mama.

“kita marah tapi bukan berarti harus kasar” ucap mama tak kalah marah pada papa.

“oh jadi sekarang saya yang salah ? begitu ?”  papa tampak emosi papa mama.

“pa.. ma.. sudahlah sekarang tak ada gunanya marah. Maaf kalau Nisa terkesan mengajari papa dan mama tapi sungguh Nisa tak berniat begitu. Tapi ayo kita lihat dari sisi Arif, kita tahu Arif tidak pernah sembarangan dalam mengambil keputusan. Pernikahan bukan permainan mana mungkin dia mengambil keputusan yang salah” Nisa menengahi orangruanya yang hampir bertengkar jika dibiarkan dan mencoba memberi pendapatnya.

ARIF & ARIFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang