Fokus Arif yang sedang sarapan teralih pada HPnya yang berbunyi di dekat tv. Ia akan berdiri dan beranjak untuk mengambil Hpnya namun Arifa mendahuluinya.
"Biar aku yang ambilin, kamu lanjutin aja makannya." Ucap Arifa berlalu dengan cepat agar si penelepon tak menunggu lama.
Arah mata Arif mengikuti langkah Arifa.
"Papa." Ucap Arifa memberitahu Arif siapa yang menelepon lalu memberikannya pada Arif.
Tak biasanya sang papa menelepon sepagi ini, pikir Arif. Tapi tak ada salahnya juga bukan, siapa tahu sang papa merindukannya.
"Assalamualaikum pa." Sapa Arif.
"Walaikumsalam nak, kamu lagi apa ?" jawab papa. " cucu papa sudah bangun belum ?" lanjut papa lagi.
"Ini Arif lagi sarapan pa, sama Arifa juga. Kalau si kembar masih bobo pa, hehe." Ucap Arif sedikit terkekeh.
Terdengar di sebrang sana si papa juga terkekeh.
"Arif, sebenarnya ada yang ingin papa sampaikan." Dan suara berubah menjadi serius.
"Apa itu pa ?" Tanya Arif penasaran.
"Sebenarnya......." Ujar papa mulai bercerita.
Arif mendengarkan papa dengan seksama, dan tidak memotongnya. Sungguh apa yang di sampaikan papa membuatnya terkejut. Di saat badai rumah tangganya dulu telah berlalu kini badai baru datang menghadang.
Entahlah, apakah ini juga badai atau tidak, yang jelas ujian baru kembali datang. Sang opa memintanya pergi ke Jerman untuk melanjutkan kuliah bisnis di sana dan menceraikan Arifa.
Tentu saja ia menolak, ia tak akan mampu melakukannya. Namun sang opa memaksa dan tak menerima penolakan. Kakek bahkan mengancam akan melakukan apa saja sekalipun harus mencelakai Arifa. Karna itulah satu-satunya cara agar opanya mau memaafkannya.
"Ada apa Rif, papa bilang apa ?"
Arif bingung harus bagaimana. Haruskah ia pergi dan meninggalkan istri dan anaknya lalu medapat maaf sang opa atau tetap di sini dengan opa yang tak memaafkannya selamanya.
Namun, ia juga merasa punya tanggung jawab pada perusahaan. Kelak dialah yang akan meneruskan perusahaan keluarganya itu. Opa sudah seharusnya pensiun dari pekerjaannya karena usianya sudah menginjak 60 tahun, dan papa juga semakin tua.
Bagaimana nasib ribuan karyawannya nanti jika perusahaan tak ada pemimpin yang baik. Tapi berpisah dari keluarganya juga hal yang sulit baginya.
"Opa ingin aku kuliah di Jerman, tapi aku tak di izinkan membawa kalian." Ucap Arif menatap Arifa.
Arifa terkejut namun ia tetap menguasai hatinya.
"Pergilah, Rif. Mungkin dengan ini opa akan memaafkan kamu. Lagi pula mungkin hanya tiga atau empat tahun. Aku dan anak-anak akan menunggu kamu" Arifa berusaha tersenyum pada Arif.
Arif memeluk Arifa di sampingnya erat sekali.
"Itu bukan waktu yang sebentar, Fa. Aku akan bicara pada opa agar kalian boleh ikut, aku tak ingin meninggalkan kamu sendiri, kembar masih kecil." Ucap Arif pelan.
"Turuti saja kata opa atau kita tak akan pernah mendapat maafnya." Ucap Arifa membuat Arif menegakkan badannya menatap Arifa.
Arif terkesiap melihat air mata Arifa menetes saat ia mengedipkan matanya. Dengan lembut ia hapus air mata itu.
"Aku sudah pernah melihat kamu di marahi orangtuamu, dan itu membuatku sedih karena akulah penyebabnya. Sekarang pergilah dan dapatkan maaf opa, aku tak ingin kamu diusir untuk kedua kalinya." Ucap Arifa mantap menatap Arif.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIF & ARIFA
Roman pour AdolescentsArif dan Arifa dua sahabat yang harus menikah karena suatu hal saat masih sma dan berusia 17 tahun tanpa di ketahui oleh keluarga Arif. Perlahan rasa sayang sebagai sahabat berubah menjadi cinta tanpa mampu mereka cegah. Saat mereka saling mencintai...