Sesuai dengan permintaan Alice untuk pergi ke Taman. Kini Ciara dan putrinya sudah duduk dibangku taman. Mereka duduk bersebelahan sambil menikmati udara sejuk yang berhembus melewati mereka.
"Alice, tidak pusing kan?" Alice menggeleng mendengar pertanyaan ibunya. "Baiklah. Jika Alice merasa pusing atau lelah, langsung katakan pada ibu, ya?" Gadis kecil itu mengangguk. Wajahnya terlihat sangat bahagia melihat anak-anak bisa bermain dengan lincah disana.
Ciara mengangkat Alice diatas pangkuannya. Memeluk gadis kecil tersebut cukup erat. "Alice, sehat terus ya, Nak. Ibu tidak mau sendirian." Alice membalikan tubuhnya agar berhadapan dengan ibunya.
"Ibu, Alice ini sehat. Hanya saja sesekali Alice merasa pusing dan mimisan. Tapi setelah itu Alice sehat lagi. Lagipula Alice tidak sedih kok tidak bisa bermain seperti anak lainnya. Asalkan Alice selalu bersama ibu, Alice sudah sangat bahagia." Ciara tersenyum sambil menahan air matanya mati-matian.
"Ibu tidak boleh menangis. Ingat! Ibu ini adalah sinar matahari dan Alice adalah mataharinya. Jadi, kita tidak boleh bersedih. Nanti jika kita bersedih langit akan gelap. Bukankah ibu selalu bicara begitu?" Ciara mengangguk.
Alice mengusap air mata yang mengalir dipipi ibunya. Memeluk ibunya erat. "Alice tidak akan pergi kemana-mana. Dan iby juga tidak boleh pergi kemana-mana." Air mata Ciara semakin deras. Dengan segera ia menghapus air matanya.
Ciara benar-benar baru merasakan bahwa tak selamanya semua beban hidup mampu ia pikul dengan tegar. Mungkin bertahun-tahun lalu ia masih bisa tegar dengan berbagai cobaan yang ada. Tetapi, tidak dengan cobaan yang menyangkut Alice. Ia menjadi lemah ketika putrinya yang justru menjadi sumber cobaanya.
Wanita itu masih tegar ketika diumurnya yang tepat menginjak delapan tahun, ia harus kehilangan kedua orang tuanya. Kemudian ketika ia berumur enam belas tahun, ia juga harus kehilangan Neneknya karena penyakit yang sama dengan Alice saat ini. Satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki. Kemudian diumurnya yang menginjak sembilan belas tahun, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dosa yang ia lakukan bersama kekasihnya membuahkan hasil.
Diumurnya yang kesembilan belas tahun, ia harus menerima kenyataan bahwa ada kehidupan lain yang bergantung ditubuhnya. Buah cintanya dari hasil bercinta dengan kekasihnya, Jeffrey Juana. Mungkin sekarang ia akan menyebut Jeffrey sebagai mantan kekasihnya.
Umurnya masih sangat muda saat itu. Bahkan ketika ia menyadari ada keanehan dari dalam dirinya, ia tak segera menyadari itu. Barulah ketika ia terlambat datang bulan kurang lebih dua bulan. Ia mulai nekat memeriksakan ke dokter dan hasilnya menyatakan bahwa ia positif mengandung.
Jeffrey Juana berasal dari keluarga yang kaya raya. Tidak seperti dirinya yang hanya seorang gadis sebatang kara yang melanjutkan hidup dengan subsidi pemerintah dan juga bekerja paruh waktu. Saat itu ia benar-benar bingung harus berbuat apa. Tetapi, satu sisi, ia bersyukur karena kelak ada seseorang yang akan menghilangkan rasa kesepiannya.
Sepertinya keberuntungan tak berpihak padanya. Ntah bagaimana ceritanya kehamilannya terdengar sampai telinga Nyonya Juana, ibu Jeffrey. Nyonya Juana datang ke rumahnya. Memberinya sejumlah uang dan menyuruhnya pergi jauh dari kehidupan Jeffrey.
Nyonya Juana tidak mau anaknya memiliki masa depan yang gelap. Ia tak mau anak lelakinya menanggung tanggung jawab selain belajar. Karena yang ia rencanakan adalah membuat Jeffrey menjadi pewaris utama perusahaan keluarganya. Menjadikan lelaki itu sebagai pemimpin. Ia tak mau kehadiran Ciara dan anaknya nanti menjadi penghambat rencananya.
Ciara hanya gadis polos saat itu. Ia terlalu mencintai Jeffrey hingga percaya saja dirinya akan menjadi penghambat. Gadis itu segera pergi menjauh dari kota Jakarta. Memilih untuk tinggal di kota Semarang.
Uang pemberian Nyonya Juana hanya ia ambil secukupnya. Mungkin hanya sekitar dua puluh lima persen saja. Ia tidak punya banyak uang untuk pergi sejauh itu. Lagipula di Semarant nanti, ia masih memiliki rumah peninggalan orang tuanya. Mereka pernah tinggal disana. Bahkan Hyesul lahir di Semarang.
Dan sejak saat itu ia belum pernah lagi kembali menginjakan kaki di ibu kota Indonesia tersebut. Ia bahkan lupa bagaimana bentuk Jakarta saat ini. Rasanya terlalu berat untuk kembali kesana. Lagipula Ciara tak punya tujuan jika kembali kesana. Ia rasa dirinya dan Alice sudah tenang berada di Semarang.
"Ibu, ayo kita pulang saja. Aku ingin minum susu coklat dan tidur." Ciara kembali tersadar dari lamunanya. Kemudian menatap putri kecilnya sambil tersenyum. "Ayo, kita pulang." Ciara menggedong tubuh mungil putrinya.
Berat badan putrinya tidak seperti anak seusianya. Terlihat lebih kecil dan kurus. Mungkin akibat dari leukimia yang menyerang tubuh mungil putrinya. Menyebabkan putrinya menjadi kurus.
♧♧♧
"Jadi, kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu, Jeffrey?" Tuan Juana bertanya kepada putranya yang kini tengah santai menikmati sekaleng soda sambil menaikkan kedua kakinya. "Aku lelah Ayah, aku butuh istirahat." Ucapnya kepada lelaki yang memiliki andil besar menghadirkannya ke dunia.
"Itu hukumanmu karena berani melewatkan rapat penting. Jika sekali lagi kau melakukan hal itu aku berjanji akan memberikanmu pekerjaan yang lebih berat lagi." Jeffrey segera menurunkan kedua kakinya. "Aku mengerti, Ayah. Jadi, apakah Ayah mengizinkan aku pulang. Aku akan melanjutkan pekerjaan itu besok. Pikiranku sedang kacau dan aku tidak mau membuat kesalahan."
"Baiklah. Segeralah pulang. Dan nanti malam pulanglah ke Rumah. Ayah ingin makan malam bersamamu." Jeffrey mengangguk. "Baiklah. Nanti malam aku akan pulang ke Rumah." Setelah menerima izin dari ayahnya, Jeffrey segera meninggalkan gedung pencakar langit itu. Ia butuh istirahat dan apartemennya adalah tempat yang paling cocok untuknya beristirahat.
Jeffrey mengendarai mobil sportnya dengan kecepatan normal. Kurang dari satu jam ia sudah berada di Basement Apartemennya. Apartemennya termasuk dalam jajaran Apartemen paling mewah di Jakarta. Dengan gedungnya yang menjulang, ia bisa melihat pemandangan dari segala penjuru kota Jakarta hanya dengan berdiri didepan dinding kaca.
Ia sudah tiba didepan pintu apartemennya. Memasukan kode keamanan dan kemudian segera membuka pintunya. Ia mencari remote control lampu apartemennya dan menemukan remote tersebut diatas meja. Ketika ia menekan tombol on semua lampu mulai menyala. Apartemennya sudah terang.
Keadaan apartemennya tidak bisa dikatakan baik. Botol wine berserakan dilantai. Pecahan gelas kristal yang sengaja ia banting juga masih berada disana. Jika ia tak berhati-hati, bisa-bisa kakinya terluka terkena pecahan gelas. Dengan hati-hati ia melewati pecahan tersebut.
Tak susah melewati pecahan kristal tersebut. Remote control masih berada digenggamannya, ia menekan tombol open dan tirai dinding kacanya terbuka membuat sinar matahari masuk.
"Astaga, ternyata seperti ini kekacauan yang kubuat sendiri." Jeffrey tertawa geli dengan kelakuannya sendiri. Jadi, sudah berapa tahun ia selalu begini ketika ia setengah mati merindukan Ciara.
Jeffrey mengambil ponsel yang ada disaku celananya. Kemudian mencari nomor rumahnya. "Bibi Dewi, bisakah bibi ke apartemenku? Aku membuat kekacauan. Bisakah kau membersihkannya ketika aku berada di Rumah ibubnanti malam?"
"Baik, tuan muda. Nanti sore saya akan kesana bersama supir pribadi." Jeffrey mengangguk. "Terimakasih, bibi." Sambungan telpon segera diputus.
Jeffrey lebih suka menyuruh asisten rumah tangga yang bekerja di rumah orang tuanya untuk membersihkan apartemennyanya. Itupun hanya Bibi Dewi saja yang diizinkan. Asisten rumah tangga yang sudah bekerja di rumah orang tuanya sejak ia masih kecil. Jadi, bibi Dewi bukanlah orang asing.
Jeffrey berjalan menuju kamarnya. Melepaskan jasnya kemudian melemparkan jas tersebut diatas sofa. Jemarinya melepas dasinya dan membuang dasi itu sembarangan. Menyebabkan dasi itu tergeletak diatas lantai.
Jeffrey membuka dua kancing teratas kemejanya. Kemudian segera merebahkan dirinya diatas kasur king size miliknya. Memejamkan kedua matanya. Mengurut keningnya yang sedikit terasa pening.
♧♧♧
KAMU SEDANG MEMBACA
La Vie en Rose
RomanceWanita itu hanya menginginkan kesembuhan putrinya. Tak perduli bahwa harga dirinya akan terjun bebas. Mengemis dihadapan lelaki yang pernah singgah dihatinya cukup lama memang bukan ide yang bagus. Tapi, ia tak punya pilihan. Hanya cara ini yang bis...