Jeffrey mengangkat tinggi-tinggi gelas kristal berisi wine berwarna merah. Ia sudah menghabiskan hampir tiga botol wine. Ia benar-benar gila saat ini. Kepalanya pening memikirkan mimpinya.
Tadinya ia berpikir bahwa mungkin mimpinya itu hanya akibat dari kerinduannya yang mendalam pada Ciara. Tetapi, mimpi itu sering muncul. Sering sekali. Dan ia tak tahu apa arti mimpi itu.
Jadi, saat makan malam di Rumahnya lusa lalu. Ia bertanya kepada ibunya, sebenarnya ada apa. Kenapa ia selalu bermimpi ibunya menangis dan meminta maaf kepadanya. Juga ada gadis kecil dan Ciara didalam mimpinya.
Ibunya menangis tersedu-sedu. Seperti dalam mimpinya. Ibunya meminta maaf sambil menangis. Ibunya sangat meminta maaf. Wanita berkelas itu menyesal akan perbuatannya.
Ketika ia bertanya kepada ibunya apa yang sebenarnya terjadi. Ia justru diberi berita tak mengenakan. "Ibu yang mengusir Ciara dari kehidupanmu. Dan yang paling membuat ibu merasa menjadi orang paling jahat adalah karena ibu menyuruh Ciara pergi dalam keadaan hamil." Jeffrey tidak mampu berkata apa-apa. Bibirnya kelu.
"Gadis itu mengandung anakmu, Jef. Dan ibu dengan tega memberinya uang dan menyuruhnya pergi. Ibu tidak sanggup menyimpan rasa bersalah ini lebih lama lagi." Jeffrey merasa jantungnya berdentam dengan sangat keras. Bahkan ia dapat mendengar suara jantungnya sendiri.
"Ibu, katakan padaku bahwa ibu berbohong." Hanya itu yang mampu Jeffrey ucapkan. Berharap bahwa apa yang dikatakan oleh ibunya hanya sebuah lelucon untuk mengisi hari makan malam mereka agar tak terasa sepi.
"Ibu tidak berbohong, Jeffrey." Saat ini Nyonya Juana benar-benar menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya beberapa tahun lalu. Gadis itu terlalu baik untuk dijahati. Mendengar cerita dari putri bungsunya, Clayrine bahwa Hyesul bukan seperti apa yang dipikirkannya membuat ia sedikit tertekan. Awalnya wanita itu tidak percaya, tetapi setelah mencari informasi mengenai kebenarnnya, ia benar-benar sangat menyesal.
"Sialan!" Jeffrey berteriak sambil melempar gelas kristal itu ke lantai. Ntah gelas keberapa yang sudah ia pecahkan. Ia sering sekali melemparkan gelas kristal disaat kacau seperti ini. Tak hanya gelas kristal, bahkan satu botol wine penuh juga pernah dilemparkannya.
Sepertinya ia akan kehilangan kesadaran lagi setelah ini. Ia tak tahu keberadaan Ciara. Satu hal yang ingin ia katakan jika dapat diberi kesempatan untuk bertemu Ciara lagi adalah Jeffrey akan meminta maaf kepada gadis itu. Meminta maaf karena membiarkan gadis itu menderita sendirian.
Mengandung diumur yang masih sangat muda dalam keadaan sebatang kara sungguh bukan perkara yang mudah. Bahkan beberapa saat tadi Jeffrey sempat berpikir, jika dirinya lah yang berada diposisi Ciara, ia akan memilih untuk bunuh diri saja.
"Ciara, bahkan aku tidak tahu kau masih hidup atau sudah mati. Bagaimana keadaanmu dan anak kita Ciara? Apa kalian baik-baik saja?" Jeffrey bermonolog bersama angin. ditengah ketidak sadarannya, ia berharap Ciara dapat mendengar apa yang ia ucapkan barusan.
"Mungkinkah kau sudah bunuh diri, Ciara? Jika itu terjadi, aku berjanji akan ikut menyusulmu. Aku benar-benar akan meminta maaf atas semua kesalahanku." Jeffrey menangis. Air matanya mengalir deras sejak tadi. Semua pekerjaannya kacau balau.
Lelaki itu meminum lagi satu botol wine merah yang ia simpan dilemarinya. Meminum minuman beralkohol itu layaknya meminum air mineral. Kemudian kepalanya terasa sangat sakit. Ia kehilangan kesadarannya. Semenjak mendengar pernyataan dari ibunya, ia selalu minum minuman beralkohol. Terhitung sudah dua hari ia begini. Tak perduli, ia lebih suka kehilangan kesadaran dan melupakan sejenak. Mengingatnya hanya akan membuat perasaan bersalahnya membuncah.
♧♧♧
Jeffrey merasakan sakit dikepalanya terasa sangat kuat. Aroma obat-obatan tercium menusuk hidungnya. Pandangannya masih buram, belum bisa fokus untuk melihat sekitarnya. Ia tak yakin betul keberadaannya saat ini. Tak butuh waktu lama pandangannya pun sudah kembali fokus.
"Syukurlah kau sudah sadar. Kau ingin mati?" Suara itu milik Clayrine, saudari kembarnya. "Pergi. Aku sedang tidak ingin bertemu siapapun." Ucap Jeffrey pada wanita bertubuh kurus itu. "Astaga! Berhentilah bertindak kekanakan, Jeff." Clayrine mengambil segelas air putih dan memberikannya kepada Jeffrey. Membantu kakak laki-lakinya untuk minum. Walaupun begitu, Jeffrey lahir empat menit sebelum dirinya. Jadi, ia masih menganggap lelaki itu sebagai kakaknya. Lelaki itu meminum air putih yang diberikan Clayrine dengan perlahan. Kemudian wanita itu menaruh kembali gelas itu diatas nakas.
"Kau tak tahu rasanya menjadi aku, Clay? Aku bahkan tidak tahu mereka masih hidup atau sudah mati." Clayrine duduk disamping ranjang rumah sakit Jeffrey. Mengusap lembut jemari kakaknya. "Kak, kau tahu, aku sama kacaunya sepertimu. Ciara adalah sahabat baikku. Kau tahu sendiri sedekat apa aku dengannya. Aku juga terkejut. Tapi mau bagaimana lagi." Clayrine terlihat pasrah.
"Tunggu, sejak kapan kau berada di Jakarta? Dan bagaimana aku bisa berada disini?" Kini Jeffrey baru menyadari bahwa ada keanehan disini. Untuk apa Clayrine berada disini dan mengapa ia berada di Rumah Sakit.
"Kau lupa? Aku tanya padamu. Apa yang kau ingat terakhir kali sebelum kau pingsan?" Jeffrey terlihat mengingat-ngingat apa yang terjadi padanya sebelum ia kehilangan kesadaran. "Ntahlah, aku hanya ingat aku sedang minum di Apartemenku." Clayrine mengangguk. "Aku menemukanmu tak sadarkan diri. Aku pulang dan lupa mengabari orang rumah termasuk kakak. Aku juga tahu dari ibu bahwa kakak sedang dalam keadaan kacau. Jadi, aku tidak memintamu menjemputku dan langsung saja datang. Bukan disambut dengan senyuman, aku malah disambut olehmu yang tergeletak dengan wine yang berada dimana-mana."
Clayrine menarik nafasnya sesaat. "Kau tahu, aku terkejut bukan main melihatmu tergeletak tak sadarkan diri. Terlebih wine berceceran dimana-mana. Kau tahu warna wine sangat mirip dengan darah. Aku kira kau bunuh diri dibunuh atau semacamnya. Kemudian ketika aku mendekatimu aku baru sadar bahwa itu adalah wine"
"Lalu kenapa aku bisa disini?" Jeffrey masih tak mengerti. Ia hanya mabuk kan? Untuk apa Clayrine membawanya ke Rumah Sakit segala. "Kau demam tinggi sekali saat itu. Bibirmu juga jadi membiru. Kau menggigil. Aku panik jadi aku bawa kau kesini. Dokter hanya mengatakan kau kelelahan, stres, dan malah mengonsumsi alkohol." Lelaki itu mengangguk mengerti.
"Kau mau bertemu ibu? Aku akan menelponnya. Kasian, beliau sangat mengkhawatirkanmu." Jeffrey menggeleng. "Aku sedang tidak ingin bertemu siapapun, Clay." Wanita itu mengangguk mengerti. "Baiklah. Aku tinggal sebentar, ya. Aku ingin membeli cokelat panas dulu." Jeffrey mengangguk dan membiarkan saudari kembarnya meninggalkannya.
Jeffrey memandang kamar rumah sakit yang cukup luas ini. Mungkin karena berada dalam kelas VVIP. Kamar ini tidak didekorasi seperti rumah sakit pada biasanya. Dindingnya diberi wallpaper berwarna cokelat muda dengan motif yang tak tahu apa. Ada sofa yang cukup besar. Dan ada satu yang membuat menarik perhatiannya, tiga tangkai bunga mawar yang berada di atas meja Sofa yang letaknya tak jauh darinya, tetapi tak bisa ia ambil dengan mudah.
"Red Rose," Gumam Jeffrey.
♧♧♧
KAMU SEDANG MEMBACA
La Vie en Rose
RomanceWanita itu hanya menginginkan kesembuhan putrinya. Tak perduli bahwa harga dirinya akan terjun bebas. Mengemis dihadapan lelaki yang pernah singgah dihatinya cukup lama memang bukan ide yang bagus. Tapi, ia tak punya pilihan. Hanya cara ini yang bis...