"Ibu, aku takut ke Rumah sakit. Setiap kali berada disana, aku selalu merasa jantungku berdebar." Kini Ciara dan Alice tengah duduk di ruang tunggu.
Pagi ini adalah jadwal rutin Alice pemeriksaan. Gadis kecil itu positif mengidap kanker darah atau leukimia diumurnya yang ketiga tahun. Ntah kesalahan apa yang diperbuah Ciara hingga membuat putrinya yang menanggung semuanya.
"Bukankah ibu sudah pernah berkata, selama ada ibu yang memelum Alice, semua akan baik-baik saja." Ciara memeluk putrinya yang kini tengah duduk dipangkuannya. Mengusap punggung gadis kecil itu dengan sayang.
"Rasanya nyeri, ibu." Ciara menahan airmatanya sejak tadi. Tak mau memperlihatkan kesedihannya kepada putrinya, ia segera menghapus air matanya. "Ada ibu disini, sayang." Ciara mencium puncak kepala putrinya.
"Ibu berjanji akan selalu berada disamping Alice, kan?" Ciara mengangguk. "Ibu berjanji, Sayang."
Ciara, wanita yang juga memiliki sisi rapuh. Ia menangis meraung-raung disamping putrinya dua tahun lalu. Alice pingsan tiba-tiba dengan darah yang mengalir deras dihidungnya. Tanpa memperdulikan uang yang sebenarnya saat itu tidak ada, ia berlari menuju rumah sakit terdekat.
Ia bahkan harus terpaksa meminjam uang kepada Bibi Lilis untuk membayar pengobatan Alice saat itu. Dokter mengatakan bahwa gadis kecil berumur tiga tahun itu mengidap leukimia. Dunianya benar-benar terasa runtuh.
Alice satu-satunya yang ia miliki di dunia ini. Ia tak memiliki siapapun lagi. Hanya Alice yang ia punya. Ia rela memberikan apapun agar Alice selamat. Tetapi dokter mengatakan karena leukimia yang menyerang Alice masih stadium awal, masih bisa melakukan pengobatan optimal dan pola hidup sehat.
Ciara menuruti apa kata dokter tersebut. Dokter tersebut juga bertanya apakah ada keluarga dari Ayah Alice atau dirinya yang mengidap penyakit sama. Ia tak tahu dengan keluarga Jeffrey. Yang ia tahu hanya neneknya meninggal juga karena penyakit itu.
Jadilah dokter itu menemukan penyebab leukimia Alice. Penyakit kanker itu dapat menurun. Tak hanya kepada putrinya. Kepada siapa saja yang memiliki garis keturunan yang sama.
Peralatan rumah sakit di daerah ini sangat berbeda dengan yang ada di kota besar. Walaupun tidak juga terlalu sederhana, tetapi tidak bisa juga dikatakan canggih. Lagipula Ciara tidak memiliki banyak uang untuk memeriksakan putrinya ke Rumah sakit besar.
Terkadang ia berpikir bukankah ada baiknya ia datang ke rumah Jeffrey meminta bantuan. Tetapi, ia malu dan merasa tak enak hati. Bahkan mungkin Jeffrey tak tahu jika ada keturunannya yang lahir di dunia.
Dengan segera ia tepis pikirannya tersebut. Ciara masih muda. Ia masih kuat bekerja untuk kesembuhan putrinya. Masih banyak pekerjaan yang bisa ia lakukan.
"Alice Juana," Nama Jangmi dipanggil. Gadis kecil itu diangkat ibunya menuju ruang dokter. Alice sudah takut dengan menyembunyikan wajahnya diantara ceruk leher ibunya. Tak mau membuka mata juga tak mau menampilkan wajahnya.
"Wah, sicantik kenapa bersembunyi, ya? Dokter mau lihat wajah cantiknya boleh?" Dokter wanita yang umurnya sudah hampir setengah abad itu merayu Alice agar mau memperlihatkan wajahnya.
"Alice, Dokter Hana mau melihat wajah cantikmu. Ayo buka dulu." Ciara sudah duduk didepan dokter Hana. Dokter tersebut termasuk dalam kategori orang yang sabar. Alice selalu begini setiap kali ia datang ke rumah sakit.
"Ibu janji akan membelikanmu ice cream cake jika kamu mau membuka wajahmu dan membantu Suster agar tidak kesulitan merawatmu." Ucap Ciara akhirnya. "Ibu janji akan membelikan Jangmi ice cream cake?" Ciara mengangguk.
Gadis kecil tersebut segera turun dari pangkuan ibunya. Kemudian berjalan menuju kasur. Ia akan dirawat disana oleh dokter Hana dan Suster. Ia rela menahan nyeri sesaat, demi ice cream cake kesukaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
La Vie en Rose
RomanceWanita itu hanya menginginkan kesembuhan putrinya. Tak perduli bahwa harga dirinya akan terjun bebas. Mengemis dihadapan lelaki yang pernah singgah dihatinya cukup lama memang bukan ide yang bagus. Tapi, ia tak punya pilihan. Hanya cara ini yang bis...