0.5

156 25 8
                                    

Merah itu abu-abu

"Warna merah dari kelingking manusia itu abu-abu, muncul dan tak dapat digambarkan kejelasan sesungguhnya. Harapanku hanya satu, perasaan ini juga menghilang bersama-sama berakhirnya harapanku setelah ia menjatuhkan pilihan."

Benar, pada awalnya Jihoon sangatlah mensyukuri dengan anugerah yang selama ini begitu dielu-elukan ayahnya.

Garis-garis merah membentuk untaian tali.

Pada awalnya, Jihoon ketakutan bukan kepalang. Mengangkat wajah dari balik ceruk leher sang ibu yang sudah menjadi hak paten sebagai tempat favoritnya bersembunyi-pun rasanya enggan. Warna serupa dari warna cairan darah di setiap pendaran galaksi mininya tak kunjung menghilang. Lucunya, Jihoon kecil mengalami keterlambatan berjalan dibanding anak-anak seusianya karena hal yang sama. Bocah menggemaskan milik keluarga kecil Park terlalu takut untuk menyentuh tali-tali merah yang berserakan di mana-mana.

Yang berakhir dengan dirinya mendapat cap manja akut, selalu mendekam dalam gendongan sang ayah dan ibu.

Tentu saja Jihoon kecil juga melihat benang merah mengait di jari kelingking kedua orang tuanya. Apa yang ia dapati kedua orang tuanya sama sekali tak menakutkan, untaian aneh berwarna merah itu merangkulnya-memberinya kenyamanan, ia merasa nyaman menyaksikan tali erat membelenggu kedua pahlawan terbaik di hidupnya. Mungkin, dari sana lah sepercik keberanian dalam dirinya mulai muncul. Mulanya hanya bertanya karena penasaran, yang dibalas antusiasme luar biasa dari sang ayah.

"Benang merah itu adalah takdir, Jihoonie..."

Usia 5 tahun, Park Jihoon mulai mengenal benang merah.

Mengenal.

Belajar.

Memahami.

Ayahnya selalu berujar, bahwa apa yang ia gariskan pada Jihoon adalah sebuah hadiah.

Jihoon hanya mengiyakan dengan naifnya.

Hari-hari Jihoon berlanjut penuh teka-teki retoris, menyaksikan bagaimana takdir menggulung mendekat secara misterius. Jihoon seolah selalu menyaksikan drama nyata tiap embusan napasnya, benang merah milik guru-gurunya, tetangganya, satpam penjaga sekolah, dan orang-orang di sekitarnya membawa visi lain dari kehidupan.

Benang-benang merah penanda takdir dan jodoh seseorang bermunculan saat usia seseorang menginjak 15 tahun. Orang pertama dari kawan sebayanya, yang pertama kali Jihoon lihat benang merahnya adalah Lee Daehwi. Sahabat kental milik Jihoon sejak mereka masih sama-sama hobi mendorong dan berlari-lari di taman. Benang merah milik Daehwi terbentang lurus tanpa ujung, saat pemuda manis Lee itu berjalan, benang merah miliknya hanya akan tergeletak lemah di tanah, mengikuti ke mana pergi si tuan tanpa lelah. Menurut pengetahuan minim Jihoon, pemilik ujung benang merah Daehwi belum muncul, lebih tepatnya benang merah dari takdirnya belum ada.

Tentu saja hanya Jihoon yang mengetahui seluk beluk dari benang merah liar di sekitarnya tanpa ada satu pun orang ikut untuk paham, kecuali keluarga Park tentunya.

Jadi, meski pun Jihoon memiliki indera cakap dan lihai serta lisan mumpuni untuk menjelaskan apa yang sudah digariskan oleh Tuhan, bungkam adalah kegiatan favoritnya ketika alur kehidupan bermain-main kecil tepat di depannya. Ya, sebut saja kejadian ini terjadi tatkala seseorang dengan benang merah jatuh cinta atau memiliki ketertarikan pada orang lain yang jelas memiliki benang merah bertentangan darinya. Jatuh cinta pada orang yang salah. Itulah ungkapan paling klise yang sudah biasa ia temui dari kasus-kasus benang merah.

Hidup manusia tak selamanya berada pada jalan yang lurus, bukan?

Itu juga yang dirasakan oleh Park Jihoon.

Red Strings (Deepwink - Winkdeep)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang