Tidak ada yang berubah. Zeana adalah Zeana yang keras kepala dan tidak mau membuka diri untuk berteman dengan sembarang orang. Dia adalah orang yang terlalu sibuk mengurusi ambisinya. Tidak ada waktu yang tersisa untuk bersenang-senang. Kompetisi sudah di depan mata dan kalah untuk kedua kalinya bukanlah harapan Zeana.
Zeana benar-benar memforsir dirinya untuk berlatih lebih dari yang lain. Bahkan ketika jam latiannya selesai, ia sengaja kembali ke kolam renang untuk berlatih lagi. Ia benar-benar merasa tidak cukup dengan jadwal latiannya saat ini.
"Ze! Udahlah. Ayo kita balik. Udah mau gelap," ujar Thalia lirih yang sedari tadi sudah habis dimakan bosan karena melihat Zeana yang berenang bolak-balik tak kenal henti.
Zeana terus berenang dan tidak menggubris ajakan Thalia untuk selesai. Bagi Zeana ini benar-benar belum cukup. Walau kulitnya sudah keriput karena kedinginan, Zeana belum cukup sadar untuk segera naik dari kolam.
"Ze! Gue laper nungguin lo latian. Ayolah makan. Temenin gue," ujar Thalia lagi berusaha keras membujuk Zeana.
Karena kesal ucapannya tak ada yang dibalas. Ia pun langsung meraih ponselnya dari dalam ranselnya dan berpura-pura mencari nomer seseorang dari ponselnya.
"Gue panggilin Dicky ya, Ze. Biar lo mau selesai latian," ancam Thalia sambil menunjukkan ponselnya ke arah Zeana.
Zeana pun berhenti berenang dan menatap Thalia kesal. "Mending lo balik dulu aja deh. Gue juga gak jamin bisa nemenin lo makan."
"Tapi lo juga harus makan. Lo belum makan apa-apa sore ini. Lo aja pulang sekolah langsung latian dan abis latian, lo latian lagi. Kapan lo mau makan?!" tanya Thalia setengah kesal.
"Nanti pokoknya. Lo balik aja dulu."
"Ya udah. Gue telfon Dicky--"
"Telfon aja sana. Emang hubungannya sama gue apa?" abai Zeana kembali ke aktivitas renangnya.
Mendengar hal tersebut, Thalia jujur terkejut. Sebegitu keras kepalanya kah Zeana hari ini. Thalia benar-benar setengah kesal, setengah kasihan. Thalia paham betul apa yang membuat Zeana jadi sekeras ini. Tidak lain karena Fafa, juniornya dalam berenang yang baru saja bergabung namun langsung mengalahkan Zeana di turnamen terakhir. Fafa berhasil merebut semua yang Zeana punya. Kerja kerasnya, semangatnya bahkan perhatian sang pelatih jadi terbagi antara Zeana dengan Fafa.
"Gimana? Dicky udah lo telfon?" sindir Zeana di sela aktivitasnya berenang. Ia menatap Thalia yang malah mematung menatap ponselnya. Tidak bergerak dan hanya berkedip satu-dua kali saja.
Mendengar kata Dicky disebutkan, Thalia langsung menatap Zeana sambil mengeleng. Ia berusaha pergi dari lamunan singkatnya tentang Zeana.
"Ih, dasar Zeana! Nyebelin emang!"
"Lima menit lagi kalau masih sabar nunggu gue," ujar Zeana akhirnya mengalah karena wajah Thalia yang memang sudah nampak lelah karena menunggunya. Sebenarnya Zeana setengah merasa bersalah karena Thalia benar-benar hampir seharian penuh bersamanya hari ini. Dari pagi di sekolah sampai sore hampir menjelang malam bersamanya, menemaninya latian.
"Mampir makankan?" tanya Thalia setengah girang karena merasa perut laparnya sebentar lagi punya harapan untuk dipuaskan.
Zeana hanya berdeham membuat Thalia menganggukkan kepalanya penuh semangat. Ia hanya perlu bersabar untuk lima menit ke depan. Ia pun meraih ponselnya untuk sekedar berselfie ria. Berfoto dengan berbagai mimik wajah yang menurutnya bisa mengibur dan mengusir kebosanannya. Sesekali ia juga memotret Zeana yang masih sibuk berkelahi dengan air kolam. Foto yang bisa menjadi bukti penyebab kebosanannya bertahan sedikit lebih lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe in Deeply
General FictionBagaimana perasaan Thalia kalau harus menerima takdir bahwa orang yang ia suka malah menjadi saudara tirinya. Bisakah bila Thalia dan orang yang ia suka menolak pernikahan orang tua mereka. Lalu bagaiaman perasaan Zeana saat orang yang ia suka kemba...