3

105 99 42
                                    

Sudah sejak lima menit yang lalu, alarm yang ada di atas meja Thalia berdering saking kencangnya. Namun satu hal yang selalu Thalia lakukan adalah menunda dan membisukan alarm tersebut. Belum ada keinginan baginya untuk meninggalkan pulau mimpinya. Meski terkadang mimpinya bukan mimpi yang menyenangkan, tapi tetap saja Thalia ingin bertahan di sana.

Sepuluh menit berlalu. Alarm ke tiganya berbunyi dengan lantang seakan berusaha meneriaki Thalia agar segera bangun dan membuka matanya. Seakan ia berharap tidak akan ada lagi dering alarm ke empat, ke lima dan kesekian kalinya.

Thalia pun bangun dan mendudukan dirinya sambil mengeram. Mengeliat sambil menarik setiap otot-otot kakunya.

Pagi sudah kembali dan malam telah berlalu. Namun rasa lelah yang Thalia rasakan masih melekat sangat erat dan seakan-akan perasaan itu tidak pernah hilang hanya dengan tidur seperti ini. Meski matanya terpejam, tubuhnya diistirahatkan, tapi pikirannya terus bekerja. Tepat seperti itu di setiap harinya.

Satu-dua kali, Thalia masih mengerjabkan matanya perlahan di atas kasur serta balutan selimut yang serba hangat. Pikirannya masih kosong. Bahkan ia masih berusaha untuk membedakan dimana sekarang dia berada. Di alam penuh kenyataan pahit atau dunia mimpi yang mana ia terluka namun tak pernah merasa sakit.

Terlalu lama melamun, dering alarm keempat akhirnya berbunyi. Saat itulah Thalia benar-benar seratus persen tersadar. Ia pun segera mematikan dering alarmnya dan berangsur bangkit dari kasur yang semakin dijauhi justru rasanya semakin terasa ingin ditinggali lebih lama.

Selalu ada rasa malas di setiap paginya. Tapi juga selalu ada rasa ingin segera meninggalkan rumah tak berpenghuni ini. Rumah yang selalu terasa kosong kapan pun Thalia berada di dalamnya. Hanya ada satu-dua orang yang dipekerjakan untuk menjadi anggota keluarga yang tidak terikat. Hanya ada mereka yang terasa mengurus Thalia. Hanya mereka yang seakan-akan bisa Thalia temui dan Thalia percaya.

"Pagi, non," sapa Bi Nani seperti biasanya. Dengan senyum seperti biasanya. Dan dengan kegiatan yang sama di setiap paginya, seperti biasanya.

Thalia tersenyum sambil mengangguk. Sedikit merasa lega bahwa ia tidak benar-benar sendirian di rumah besar ini.

"Pagi, Bi. Bibi masak apa?" tanya Thalia mendekati meja makan dan segera mendudukkan dirinya manja. Bertingkah seperti anak kecil yang memulai sifat manjanya di depan ibunya yang baru saja selesai memasak.

"Ini... Nyonya yang masak, non," jawab Bi Nani membuat Thalia terkejut.

Thalia pun langsung merubah segala mimik wajahnya. Merubah suaranya. Merubah postur tubuhnya untuk menjauh dan mengamati baik-baik makanan yang sudah tersedia di meja.

"Mama? Mama pulang?" tanya Thalia tanpa mengalihkan pandangannya.

"Kenapa kalau Mama pulang? Nggak suka, ya?"

Thalia tersentak. Ia langsung menoleh mendapati seorang perempuan paruh baya dengan balutan daster sederhana. Berdiri di ambang pintu dapur sambil melipat celemek yang baru saja ia kenakan.

"Mama..."

"Mama udah masak. Kamu buruan mandi, siap-siap, terus makan bareng Mama. Oke," ujar Dara tersenyum sambil mengusap puncak kepala Thalia. Berjalan sambil membawa satu-dua piring untuk diletakkan di atas meja makan. Menata dan menyiapkan acara sarapan yang jarang mereka lakukan bersama.

Thalia terdiam dan terus menatap setiap gerak-gerik ibunya. Disentuh seperti ini, diperlakukan seperti ini, benar-benar terasa sangat menyakitkan bagi Thalia. Begitu kerasnya Thalia mengubah harapannya menjadi ketidakperdulian. Begitu kerasnya Thalia ingin tidak terluka hanya karena harapannya tidak dapat terpenuhi. Tapi sedetik yang lalu. Bangunan yang Thalia bangun dalam dirinya runtuh seketika. Sentuhan ibunya yang seperti ini yang ingin ia rasakan setiap harinya. Senyumannya seperti ini yang ingin ia lihat setiap harinya. Dan keberadaannya yang selalu ia harap untuk ada setiap harinya, bersamanya kapan pun itu.

Breathe in DeeplyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang