2

148 116 61
                                    

"Gue balik dulu ya, Ze. Makasih makannya. Lain kali pasti bakal gue ganti traktirin lo!" seru Thalia sambil melambaikan tangannya. Berjalan menjauhi arah Zeana karena rumah tempat tinggal mereka sudah mulai berbeda arah.

Tidak ada hal lain yang bisa Zeana lakukan kecuali menggelengkan kepalanya melihat tingkah lakunya. Namun mendengar ia ingin membalas traktirannya membuat Zeana mengangguk sambil tersenyum. "Oke, gue tunggu!"

Mereka pun berpisah. Sekarang tinggal beberapa meter tersisa bagi Zeana untuk sampai ke rumahnya. Bahkan dari tempatnya berdiri saat ini saja rumah kediamannya sudah terlihat. Rumah tingkat dengan lampu hias paling terang dan menarik perhatian. Itulah rumah sekaligus cafe milik kakaknya yang berada di satu tempat yang sama. Rumah yang di desain bertingkat dengan lantai dasar dijadikan cafe dan lantai kedua sebagai rumah utama.

"Kenapa malem banget pulangnya, dek?" tanya Ravy, kakak laki-laki Zeana, saat Zeana baru saja sampai di depan pintu kafe.

Zeana hanya tersenyum sambil mendudukan dirinya di salah satu kursi yang kosong. Ia belum berminat untuk menjawab pertanyaan kakaknya. Bahkan bila jawabannya hanyalah satu atau dua kata saja. Isi kepalanya benar-benar terasa seperti berputar-putar. Beberapa kali ia menghelengkan kepalanya untuk mengusir rasa peningnya. Ia pun menghela napas panjang sambil berangsur meletakkan kepalanya di antara lipatan tangannya.

"Lo sakit, dek?" tanya Ravy lagi.

Karena Zeana tidak berbalas. Ravy pun melepas celemeknya dan menaruhnya di punggung kursi. Berjalan mendekati sang adik yang nampak tidak bersemangat.

"Biarin gue tidur bentar, bang. Entar kalo udah enakan gue bantuin lo jaga cafe," ujar Zeana masih dengan mata yang terpejam.

"Kalo lo sakit, nggak usah bantuin gue dulu juga nggak pa-pa. Mending lo istirahat aja di atas," ujar Ravy sambil menatap wajah Zeana, menyingkirkan rambut Zeana dari wajahnya, dan menempelkan telapak tangannya tanda khawatirnya.

Zeana tidak mengelak. Ia bahkan hanya diam saja ketika tangan sang kakak bermain di sekitar wajahnya. Entah kenapa rasanya hari ini, matanya sangat berat untuk dibuka. Tubuhnya menjadi semakin berat dan keinginannya untuk tidur semakin besar. Padahal beberapa jam yang lalu Zeana merasa baik-baik saja. Justru setelah makan dengan Thalia ia merasa tidak enak badan.

"Lo sakit, dek. Sekarang istirahat aja di kamar lo. Nanti gue buatin teh anget dan gue anter ke kamar lo," perintah Ravy sambil membunjuk Zeana untuk segera naik ke atas. Ia juga membantu Zeana berdiri dan menatapnya pergi menghilang menuju lantai dua.

Tanpa menunggu, Ravy langsung kembali dapur cafenya untuk membuatkan teh hangat untuk Zeana.

Di lain tempat, Thalia masih dalam perjalanan pulang menuju ke rumahnya. Sebenarnya jarak rumah Thalia dengan Zeana tidak terlalu jauh. dengan langkah kaki normal, biasanya Thalia hanya menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit perjalanan. Tapi kali ini bahkan sudah hampir dua puluh menit berlalu dan Thalia belum sampai di rumahnya.

Thalia benar-benar menikmati perjalanannya. ia bahkan menyempatkan diri untuk menghampiri taman kecil di dekat rumahnya. Duduk sendiri di bangku panjang yang terbuat dari kayu, yang sudah mulai usang. Tepat di bawah lampu jalan, dengan pencahayaan yang sempurna dari bulan, Thalia tersenyum menatap langit berbintang sambil bersenandung kecil.

Usahanya membangun perasaan bahagia selalu saja dihancurkan oleh waktu kala ia sedang menjadi dirinya sendiri. Ketika ia tidak punya siapa pun di sampingnya yang mengajak dirinya bicara, ia benar-benar merasa jatuh. Kesepian mendadak menguasainya.

Thalia pun meraih ponselnya dan memainkan jarinya di atas layar datar yang selalu menjadi teman bermainnya. Tidak ada satu pun pesan yang bisa Thalia harapkan kecuali pesan chat dengan Zeana. Bahkan dua orang yang selalu ia harapkan untuk sekedar mengiriminya pesan tanda khawatir. Bertanya sedang dimana, sedang apa, sedang bersama siapa Thalia sekarang ini.

Breathe in DeeplyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang