11

53 30 11
                                    

Sudah hampir satu jam berlalu dan Zeana sama sekali tidak bisa merasakan apa itu kebebasan. Pikirannya terus mengingat bahkan sampai ia benar-benar menghafal setiap kata yang keluar dari mulut pelatih renangnya.

Kecewa? Tentu saja!

Zeana benar-benar merasa kecewa. Keadaannya menjadi sangat tidak baik-baik saja. Bahkan setelah Dicky bersusah payah menghibur Zeana namun pada akhirnya tidak ada satu pun yang bisa mengembalikan mood Zeana yang telah hancur.

Sekembalinya dari acara makan dengan Dicky, Zeana langsung kembali ke rumah. Ia bahkan mengatakan kepada Ravy bahwa ia tidak bisa membantunya untuk menjaga kafe. Secuil alasannya singkat yang selalu membuat Ravy harus mengerti keadaan adik perempuannya itu. Keadaan yang memang selalu tidak bisa baik-baik saja.

Perlahan Zeana tau betul bahwa ia butuh waktu hanya untuk sekedar bersembunyi. Menghilang dari dunia nyata walau hanya sekedar ilusi. Zeana akhirnya lebih memilih untuk mengurung diri di kamarnya. Menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan mematikan seluruh pencahayaan yang tersedia di kamarnya. Bahkan ia juga menutup seluruh jendela. Sehingga ia benar-benar membuat kamarnya menjadi gelap gulita. Yang tersisa hanyalah ponselnya yang sengaja ia letakkan di atas meja belajarnya, yang sesekali layarnya menyala tanda ada satu-dua notifikasi yang masuk. Namun Zeana tetap abai dan tidak berminat menyentuh ponselnya barang sedetik pun.

Sepuluh menit berlalu yang Zeana habiskan hanya dengan berbaring menatap langit kamarnya yang sama sekali tidak terlihat. Tidak berbicara dan tidak melakukan apapun sampai akhirnya seseorang mengetuk pintu kamarnya. Mengusik harapannya untuk bisa tenang bersama gelap.

Tok! Tok! Tok!

"Bang! Gue udah bilang, gue nggak bisa bantu jaga kafe hari ini! Tolong ngertiin gue sekali ini aja!" Ujar Zeana pada akhirnya karena suara ketukan pintu yang semakin dibiarkan semakin mengeras. Seakan seseorang yang mengetuk benar-benar ingin Zeana membukakan pintu kamar untuknya.

Tok! Tok! Tok!

"Bang! Please, gue lagi badmood abis hari ini!"

"Buka pintunya, Ze! Ini Mama!"

Sedetik tercekat. Zeana langsung bangkit dan menyalakan lampu kamarnya. Matanya menyipit karena harus menyesuaikan intensitas cahaya yang mendadak masuk ke matanya.

Dengan keadaan jantung yang berpacu kencang, ia pun langsung bergegas membukakan pintu untuk Mamanya. Setengah berlari sambil memaki dirinya sendiri.

"Mama?!" pekiknya setelah Zeana membuka pintu kamar dan melihat sosok wanita yang sangat ia rindukan kini benar-benar berada di depan matanya.

Bagaimana tidak terkejut. Sudah hampir berbulan-bulan Mamanya pergi meninggalkan kedua anaknya. Lebih tepatnya memang bukan Mamanya yang pergi, namun Zeana dan Ravy-lah yang memutuskan untuk hidup mandiri setelah pernikahan kedua Mamanya.

Karena Ravy yang sebenarnya tidak menyukai dan tidak bisa menerima ayah tirinya, maka ia lebih memilih untuk kembali ke rumah lamanya, yang sekarang sudah berubah menjadi separuh rumah separuh kafe atas persetujuan seluruh pihak. Ravy lebih memilih hidup menyendiri sehingga ia bisa hidup tanpa membenci siapapun. Namun baru beberapa bulan berjalan, Zeana merasa lebih nyaman bersama Ravy. Sampai akhirnya ia ikut memilih pergi dan tinggal bebas bersama kakaknya yang tidak terlalu banyak mengatur dirinya. Itulah pikiran Zeana pertama kali akhirnya ia tinggal sampai hari ini bersama Ravy.

"Ngapain di kamar?" tanya Adellia. menyadarkan Zeana dari lamunan singkatan.

"Itu jendela juga kenapa nggak dibuka? Nggak pengap apa?" omel Adellia setelah melihat keadaan kamar Zeana yang kacau balau.

Breathe in DeeplyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang