9

3.3K 249 9
                                    


Semenjak pertemuan di dalam kereta yang berlanjut di stasiun Citayam, Wawan dan Yulia sering janjian untuk bertemu tanpa sepengetahuan Habibi dan Elmeira tentunya.

Karena, bila mereka tahu, Wawan pasti langsung diinterogasi habis-habisan dan dimarahi.

Karena hingga saat ini, baik Habibi maupun Elmeira belum bisa menerima kehadiran Yulia sebagai Ibu kandung mereka. Wawan mencuri-curi waktu agar bisa bertemu dengan Yulia. Bahkan sesekali, Wawan mengajak Yulia untuk buka puasa bersama.

Seperti yang dilakukannya sore ini, dari stasiun Bojonggede dia berangkat sekitar jam empat sore. Sementara Yulia menunggu di stasiun Kalibata. Karena di dekat Taman Makam Pahlawan, ada banyak tenda-tenda kaki lima yang menyediakan banyak makanan.

Mulai dari makanan seafood sampai nasi uduk. Semuanya ada di sana. Yulia yang berangkat dari stasiun Jakarta Kota, menunggu di peron stasiun Kalibata sampai Wawan datang dari arah Bogor.

Wawan dan Yulia serasa seperti pacaran lagi seperti muda dulu. Janji ketemu di satu tempat dan mengobrol bersama. Mengulang kembali saat-saat dulu ketika dia dan Yulia masih sama-sama ABG.

Seringnya Wawan pergi menjelang sore, membuat Elmeira dan Habibi menaruh curiga pada akhirnya. Setiap saat, Ayah mereka selalu hilang dan pergi tanpa pamit.

Dan hal itu membuat penasaran Elmeira dan Habibi. Dan caranya, mengintai Wawan dari stasiun Bojonggede sampai di perjalanan kereta.

Selama di dalam perjalanan kereta, Elmeira dan Habibi menjaga jarak agar tidak ketahuan Ayah mereka.

“Jangan sampai Ayah tahu Teh, kita sedang mengintai dia.” Bisik Habibi di telinga kakaknya.

“Yang penting kita tidak boleh lengah Bib. Pokoknya kita harus tahu, Ayah mau kemana sih. Setiap sore pasti pergi.”

“Iya Teh, jangan sampai lolos.”

Commuterline tujuan Jakarta Kota yang dinaiki Elmeira dan Habibi terus melaju melewati stasiun demi stasiun. Pandangan mereka tak boleh lepas dari Wawan Ayah mereka.

Pokoknya hari ini mereka harus tahu kemana Ayah pergi dan dengan siapa. Dari jarak yang tidak terlalu dekat, Habibi dan Elmeira bergantian memantau Ayahnya dari dekat persambungan kereta.

Dan ketika kereta berhenti di stasiun Duren Kalibata, Elmeira dan Habibi melihat Ayahnya keluar dari kereta. Mereka pun segera mengikutinya sambil tetap memperhatikan jarak agar tidak ketahuan.

Wawan melangkah di depan, sedangkan Elmeira dan Habibi beberapa langkah di belakangnya. Dan Wawan tidak tahu sama sekali bahwa dari tadi dia sedang dibuntuti kedua anaknya.

“Ayah ke Kalibata mau ada urusan apa ya Teh dan kira-kira mau bertemu siapa.” Tanya Habibi

setengah berbisik di telinga Elmeira.

“Udahlah Abib, kita lihat saja. Nanti Ayah jadi curiga.”

“Baiklah.”

Wawan mulai menuruni anak tangga stasiun Kalibata. Setelah itu dia menyeberang rel. Elmeiradan Habibi bergegas mengikutinya dari belakang. Ternyata Wawan menuju ke pintu Barat stasiun.

Dan sebelum melangkah menuju gate out, Wawan pun mulai menghampiri seorang perempuan yang sudah lama menunggunya. Mereka nampak bersalaman dan saling tersenyum. Dengan jelas, Elmeira dan Habibi melihat semua itu.

“Astagfirullahaladzim Teh, ternyata Ayah menemui seorang perempuan. Siapa perempuan itu Teh.”

“Sebentar-sebentar, itu kan… perempuan itu. Iya, Teteh masih ingat dengan wajah jahat dan kejam itu Bib.”

“Perempuan siapa Teh?” Habibi bertanya heran dan penasaran.

“Perempuan itu Ibu kandung kita. Yulia. Perempuan yang sudah meninggalkan Ayah dan juga kita.”
Ucap Elmeira menjelaskan.

“Ooo, itu toh yang namanya Yulia. Ihhh, amit-amit.”

“Abib, tidak ada waktu lagi. Kita harus samperin Ayah dan perempuan itu sekarang. Ini tidak bisa dibiarkan. Ayah sudah bohong sama kita. Ayo.”

“Baik Teh.”

Elmeira dan Habibi pun segera menyeberang rel. Agak tergesa, bahkan setengah berlari. Hingga akhirnya, ketika sampai di dekat Wawan dan Yulia, Elmeira langsung melabrak dan tidak bisa menahan emosi lagi.

“Ohhh, jadi begini Yah. Ayah sudah berani bohong sama aku dan Habibi.” Nada suara Elmeira memang terdengar marah, membuat Wawan dan juga Yulia kaget.

“Elmeira… Habibi. Kalian…”

“Aku minta, Ayah pulang sekarang. Aku tidak mau melihat Ayah dengan perempuan kejam dan tidak punya hati ini.”

“Sayang, tahan emosi kamu Nak, dia Itu Ibu kandung kamu, Ibu kalian.”

“Dia bukan Ibu kandung aku. Aku tidak punya Ibu. Ibu kandungku sudah mati.”

“Elmeira, kamu tidak boleh bicara seperti itu Nak. Bagaimanapun juga Ibu Yulia adalah Ibu kandung kamu dan juga Habibi.”

“Maafkan aku Ayah. Bagi aku, Ayah adalah Ayah sekaligus Ibu kandung untuk aku dan Habibi. Karena yang berjuang untuk aku dan Habibi cuma Ayah seorang. Yang membesarkan aku dan Habibi dengan susah payah dan sekuat tenaga, hanya Ayah. Dia tidak pernah sama sekali. Dan sampai detik ini, hati aku masih sakit Yah. Aku tidak mungkin lupa bagaimana saat itu nyawa Habibi hampir terenggut gara-gara dia. Aku juga tidak mungkin lupa, bagaimana dulu aku diperlakukan seperti anak tiri oleh dia. Tidak akan pernah lupa.
Dan elo perempuan berhati jahat, elo jangan berani-berani ngedeketin bokap gue lagi. Elo nggak berhak atas bokap gue. Sampai kapan pun, gue nggak akan pernah setuju elo sok-sok genit dan tebar pesona sama bokap gue. Gue nggak akan pernah setuju dunia akhirat. Ingat itu!!”

BERSAMBUNG ke episode berikutnya…

Panggil Dia IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang