22

2.1K 150 19
                                    

“Elmeira, kamu tidak boleh seperti ini terus Nak. Kamu harus bisa membuka hati dan pikiran kamu. Jangan ikuti hawa nafsu. Itu datangnya dari syetan. Istighfar. Ibu Yulia itu adalah Ibu kandung kamu.”

“Iya teteh, jangan menyimpan dendam dan benci terlalu lama sama Ibu. Nggak baik.” Habibi menambahkan.

“Ini urusanku, aku mohon. Jangan paksa aku untuk itu.”

“Anakku… ayah minta sama kamu Nak.”

“Sudahlah Ayah, Abib. Aku tidak bisa disamakan dengan kalian. Aku beda.”

Usai mengatakan itu, Elmeira bangkit dari duduknya kemudian melangkah menuju kereta sebelah.

“Elmeira, mau kemana kamu Nak.” Wawan ikut bangkit dari duduknya kemudian menjejeri langkah Elmeira di koridor kereta.

“Lebih baik aku pergi saja. Kalau Ayah sama Abib mau hidup bersama dengan perempuan itu, silakan. Tapi aku nggak mau. Aku nggak sudi hidup dengan perempuan yang sudah menghancurkan hidup aku dan membuat aku menderita. Tidak Yah.”

Hampir semua penumpang yang ada di dalam kereta menoleh ke arah Elmeira dan juga Wawan. Suara mereka berdua jelas terdengar di telinga semua penumpang.

“Kamu jangan konyol sayang, kamu mau pergi kemana?”

“Ingat Yah, aku akan kembali sama Ayah dan juga Habibi asalkan perempuan itu tidak ada atau sudah mati.”

Kalimat terakhir dari Elmeira membuat Wawan kaget, tidak percaya, malu dan juga marah.

Mati. Kata itu demikian mudah dari mulut Elmeira dan ditujukan untuk Yulia. Sampai sebegitu bencinyakah Elmeira kepada Ibu kandungnya hingga mengharapkan mati. Kedua mata Wawan mulai mendelik ke wajah Elmeira.

Dan untuk pertama kalinya selama mengenal Ayahnya, Elmeira mendapatkan delikan mata itu. Berarti dengan begitu Wawan sudah sangat demikian marah.

Karena bagaimanapun juga kata ‘mati’ itu adalah hal yang tidak pernah Wawan duga akan keluar dari mulut Elmeira.

Mungkin karena saking marahnya, Wawan melayangkan kedua tangannya ke udara dan bermaksud menampar Elmeira.

Telapak tangan Wawan bersemu gemetar menahan amarah. Namun, belum sempat tangan itu mendarat di pipi Elmeira, Wawan segera sadar bahwa dia sudah melampaui batas. Dia sudah keterlaluan. Apalagi itu adalah di dalam kereta, di tempat keramaian. Wawan pun langsung mengucap istighfar.

“ Astagfirullahaladzim, astagfirullahaladzim.”

“Kenapa nggak jadi Yah, ayo tampar! Biar sekalian Ayah puas. Tampar Yah, tampar!”

“Astagfirullahaladzim Elmeira, maafkan Ayah Nak. Ayah barusan emosi.”

“Aku pikir, Ayah itu adalah sosok Ayah yang baik. Tapi nyatanya apa? Ayah sama jahat dan kasarnya sama perempuan itu. Di tempat umum seperti ini Ayah berani melakukan hal itu. Bagaimana kalau di rumah atau di tempat sepi lainnya Yah.”

“Elmeira, pelankan suara kamu sayang. Tadi Ayah benar-benar nggak sengaja.”

Biarin. Biar semua penumpang di kereta ini yang menjadi saksi bahawa Ayah, tega untuk menampar anaknya sendiri di muka umum. Bahwa Ayah lebih memilih perempuan jahat itu dibandingkan aku.

“Teteh sudah dong teh, malu dilihat orang-orang. Nggak bagus seperti itu, udah gede juga. Malu atuh. Seharusnya, teteh dong yang nasihatin aku.”

Habibi tidak tahan dengan sikap kakaknya, yang menurutnya sangat tidak pantas, tidak sopan dan kekanak-kanakan.

“Kamu diam saja Habibi, tidak usah ikut campur dan sok-sokan ngajarin teteh. Kamu itu cuma adik, tidak tahu apa-apa.”

Elmeira tidak terima dinasihati seperti itu oleh adiknya sendiri.

“Astagfirullahaladzim Elmeira, sudah dong sayang. Benar kata Habibi, malu dilihat orang banyak. Bagaimana sih. Kalau Ayah salah, Ayah minta maaf Nak. Maafkan Ayah.”

Beberapa saat setelah itu muncul petugas Walka dari kereta belakang dan menayakan apa yang sedang terjadi.

“Bapak, adek…. maaf. Jangan bertengkar di sini. Mengganggu kenyamanan semua penumpang di dalam kereta ini. Silakan selesaikan persoalan kalian di luar saja. Kami mohon ya Pak, Dek. Karena ini adalah transportasi umum.”

Dengan penuh sikap sopan dan hormat, petugas Walka itu berbicara sebijak mungkin di hadapan Elmeira dan juga Wawan, agar tidak menyinggung perasaan kedua belah pihak.

“Sebelumnya kami mohon maaf atas kejadian ini Pak. Maafkan sikap kami bila sudah mengganggu semua kenyamanan penumpang kereta.

“Ya sudah, kami mohon ya Pak. Terima kasih.”

“Iya Pak sama-sama.”

BERSAMBUNG ke episode berikutnya…

Panggil Dia IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang