.
.
.Entah apa yang terjadi pada Sakura. Dia merasa kepalanya seperti terombang-ambing di tengah lautan dalam. Perutnya mual dan juga keningnya mendadak panas. Ini terjadi begitu saja saat dia terbangun dan duduk lunglai. Kapan terakhir kali dia demam? Apa karena perubahan cuaca yang sangat ekstrim? Astaga. Kepalanya pusing sekali, bahkan untuk berdiri saja, Sakura tidak mampu.
Bibirnya bergetar karena kedinginan. Semalam dia hanya menggunakan celana pendek dan kaus lengan pendek juga. Sekarang, dia merasa dingin. Sakura tidak bisa bertahan jija seperti ini, cakranya tidak stabil. Dia tidak bisa memfokuskan diri untuk tetap tenang. Dengan berat, Sakura berdiri. Tepat begitu telapak kakinya menginjak lantai, langsung gadis tunggal Haruno itu berjengit. Dingin sekali! Sakura memejamkan mata, dia bisa saja langsung pingsan, itu akan menjadi kemungkinan terburuk. Tidak ada orang di rumah. Ah! Handphonenya! Dia harus menelepon seseorang.
Sakura meraba nakas. Bibirnya membentuk sebuah kurva kecil ketika menemukan handphone yang ia cari. Begitu dia menariknya, layar handphone yang hitam membuat Sakura waswas. Dan benar saja, ketika dia menekan tombol power, tidak ada tampilan layar. Handphonenya lowbatt.
"Sial!" Sakura membanting benda itu. Dia menggigil. Segera Sakura menarik selimut, membungkus tubuhnya yang sedari tadi tidak bisa di ajak kompromi.
Sakura membuka mata, sayu. Dia meletakkan telapak tangannya di atas kening. Sangat panas. Sakura menegakkan badan mencoba untuk menarik laci nakas dan meminum pil obat. Sayang sekali, kotak pilnya telah kosong.
Sakura mengerang pusing.
"Ayolah! Aku pernah terluka lebih parah! Aku masih bisa bertahan, tapi kenapa?! Ini hanya demam!" Rasa takut karena dia hanya sendiri dan juga sugestinya, membuat Sakura tidak bisa mengendalikan cakra seperti semestinya. Chakranya kacau, jantungnya berdebar serta di keningnya menempel peluh.
Hanya tangan Sakura yang merasakan betapa panas kening gadis itu. Dan, keringat dingin justru mengalir dari pelipisnya.
"Sial!" Padahal hanya perlu memejamkan mata, tapi kepala Sakura rasanya ingin meledak. Dan.. dan.. yah, dia menangis padahal dia tidak ingin. Sakura memang selalu kelihatan payah ketika demam. Lebih baik dia tertusuk samehada daripada terkena demam yang merepotkan.
Sakura memeluk selimut. Memejamkam mata erat dan mencoba menghangatkan diri lebih banyak lagi.
Sebelum dia terlelap, dia masih sempat mengucapkan satu nama.
"Sasuke...kun."
.
.
.
."Ada apa, Sasuke?" Naruto yang berjalan di samping mantan buronan itu mendadak kaku. Dia langsung menoleh ke arah utara, tempat di mana rumah Sakura. Entahlah, mengapa dia merasa bahwa seperti ada yang memanggil dia?
"Tidak," Sasuke berjalan lagi. Mengabaikan ocehan bodoh Naruto tentang betapa banyak tumpukan berkas yang harus ia pelajari untuk bisa menjadi Hokage kelak. Naruto berhenti mengoceh ketika menjumpai Ino yang tergesa-gesa.
"Yo, Ino!" Belum lagi Ino menjawab sapaan Naruto, dia langsung menarik kerah Uzumaki satu itu.
"Kau melihat Sakura?" Ino bertanya.
Naruto langsung melihat Sasuke yang terlihat tenang padahal lelaki itupun sama khawatir ketika Ino bertanya.
"Bukannya Sakura-chan berada bersamamu di klinik?"
"Tidak!" Ino menjerit, "dia tidak berada di klinik. Ini sudah jam sepuluh pagi, saat aku ke rumahnya, dia tidak berada di rumahnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Days (End)
Fanfic(Canon SasuSaku Story) Menjelang ulangtahun Sasuke yang ke-19, dia memutuskan untuk menghabiskan waktu satu minggu berada di konoha, menjadi ninja biasa yang menjalani hari dengan rekan team nya. Termasuk Sakura. (read my Sasusaku story)