"Pat kadang keterlaluan jika dia sedang marah." Pink memandang lekat wajah Singto yang berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Singto tengah mengobati sudut bibirnya yang lebam. Tadi Fang berlari menuruni anak tangga untuk meminta bantuan, kebetulan Singto masih ada disekolah. "Aku minta maaf atas nama Pat." Singto menyimpan alat-alat kesehatan yang baru dipakainya ke kotak P3K.
"Ketika malam itu... kenapa kau hanya diam?" Singto menarik kursi, duduk berhadapan dengan Pink. Ia rasa ini adalah saat yang tepat untuk menyelesaikan semuanya. Ia tidak mungkin terus lari.
"Apa yang harus kukatakan, ketika kau mengatakan kau merindukanku padahal setiap hari kita bertemu?" Pink meremat rok birunya. Isakannya terdengar lirih.
"Seharusnya aku minta pada orangtuaku untuk meneruskan perjodohan itu-"
"Dan memaksaku untuk menerimanya?" Singto memotong ucapan Pink cepat. "Sudah tiga tahun Pink. Kau harus bisa bergerak."
"Aku tidak bisa pergi sejengkalpun!"
"Kau bisa. Tapi kau memilih diam ditempat itu!" Singto memijit pelipisnya. Masalahnya dengan Krist bahkan belum selesai. Tapi ia sudah dipusingkan oleh masalah lain.
"Apakah kau pernah tahu Singto? Rasanya berpura-pura menjadi temanmu? Berpura-pura mendukungmu dan Krist? Berpura-pura bersikap semua baik-baik saja? Kau bahkan benar-benar mengabaikanku setelah hari itu. Harusnya aku yang sekarang mengatakan Singto. Sudah tiga tahun. Sampai kapan kau tidak memandangku?" Pink menatap wajah Singto intens. Rasanya ia sudah lelah menangis, tapi Pink tidak punya pilihan lain. Sekeras apapun ia menahan airmatanya. Ia akan tetap menangis.
"Kau akan baik-baik saja Pink. Cukup lupakan semua yang pernah terjadi." Lirih Singto.
Ruang UKS lenggang. Hanya ada suara isakan Pink yang terdengar lirih. Serta hembusan napas Singto yang berat karena ia lelah.
"Jangan membuatku menjadi orang yang jahat Pink. Kau berhak bahagia dan bahagiamu bukan aku." Singto bangkit, ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. "Ayo pulang. Ini sudah larut." Ajak Singto.
"Singto."
"Ya?"
"Aku mencintaimu." Bisik Pink. Singto memandang Pink dengan raut wajah menyesal.
"Aku tahu, terima kasih. Tapi aku sudah mencintai oranglain."
Pink mengangguk. Ia mengerti sekarang. Walau terasa sakit, Pink harus menerima kenyataan bahwa ia memang sudah tidak memiliki tempat di hati Singto. Pemuda itu sudah bergerak, beranjak meninggalkan kenangan yang bahkan masih Pink genggam erat. Patah hati ternyata sesakit ini.
Pink menyerah. Ia tidak bisa terus memaksa Singto ada disisinya, jika pemuda itu bahkan tidak memberinya tempat. Mungkin dimata Singto mereka sekarang hanya sebatas teman. Seharusnya ia mengerti dan melakukan hal yang sama.
Apa yang Pat katakan benar. Singto sudah bukan miliknya, ia harus berhenti jika tidak ingin menyesal.
Singto mengulurkan tangan padanya. Pink menerima uluran tangan Singto. Mereka keluar dari UKS dengan tangan bertaut.
Malam ini saja, biarkan ia meraskannya sedikit. Biarkan ia menyembuhkan dirinya dan bersiap melepaskan Singto sepenuhnya.
Krist memandangi keduanya dibalik tembok. Ia membuang napasnya lelah. Sebelum akhirnya tersenyum dengan sangat lebar.
"Tidak apa-apa." Gumamnya pada dirinya sendiri. Ini yang ia inginkan bukan? Singto dan Pink bersama.
Krist tahu bahwa Pink masih mengharapkan Singto. Sebagai teman yang baik ia berusaha mendekatkan Singto dan Pink. Walau persahabatannya yang menjadi taruhannya. Krist hanya tidak ingin Singto merasa tak nyaman dengan gosip yang beredar mengenai mereka berdua. Dijodoh-jodohkan dengan sesama jenisnmu, pasti rasanya tak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter Sweet [SingtoxKrist]
FanfictionMasa remaja adalah masa paling indah. Dimana kita sedang mencoba mencari jati diri. Dipenuhi semangat masa muda. Mencoba hal-hal baru. Saat beranjak dewasa, kau akan menyadari manis pahitnya hidup. Mencari makna tersirat dalam semua yang terjadi dan...