SMA Sacred Heart, delapan tahun lalu.
"Lempar kemari, Halevi!" Seorang remaja mengangkat tangannya, meminta operan bola basket yang berada di sepasang tangan bertato. Tapi sayangnya ia tidak mendapatkan bola tersebut. Leonard Halevi memilih untuk men-dribble bola tersebut sendiri dan melakukan slam dunk dengan kecepatan lari dirinya sendiri.
"Wow, Leo. Staminamu masih kuat rupanya," ejek salah satu dari mereka.
"Apa yang bisa kukatakan? Aku makan daging manusia lemah sepertimu untuk makan malam," balas Leo diiringi tawaan adik-adik kelasnya yang kini sudah duduk di bangku senior. "Lanjutkan permainannya, aku mau membeli minum dulu."
Leo masih ingat tiap belokan di gedung SMA yang besar ini. Bahkan coretan-coretan kecil di dinding SMA Sacred Heart pun ia ingat. Ia mencintai sekolah ini. Di Sacred Heart lah ia menemukan jati dirinya melalui pertandingan-pertandingan basket, dan olimpiade-olimpiade sains yang ia menangkan. Maka itu setiap ia merasa down, ia selalu datang ke sekolah tua ini. Seperti sekarang yang seharusnya ia duduk diam di kelas universitasnya dan mempelajari ekonomi dunia. Tapi ia tidak suka dengan jurusan kuliahnya yang dipaksa oleh sang ayah, maka ia membolos.
Leo termasuk pelajar yang pintar dan berprestasi. Tapi hanya di beberapa bidang saja, seperti sains, olahraga, dan musik. Sisanya, ia selalu membolos. Terutama pada pelajaran sejarah dan bahasa Inggris.
Leo memang nakal, tapi nakalnya hanya sebatas merokok, tato, membolos, menindas dan sikapnya yang kerap kali kurang ajar pada guru. Ia tak pernah bermain wanita. Itu menjijikkan baginya. Ia berasal dari keluarga terpandang. Jadi hal tersebut memang fana baginya.
Kaki berototnya yang dibalut dengan celana pendek khas pemain basket telah tiba di kantin SMA. Kantin itu begitu sepi, karena sekarang memang belum jam makan siang para murid. Sedangkan para remaja yang bersamanya tadi membolos pelajaran mereka.
Setelah membeli sebotol besar air mineral, ia kembali ke lapangan basket ber-AC milik sekolah mereka.
Matanya terpana pada seorang gadis yang tengah menggerutu sambil mengepel bagian sisi lapangan. Gadis itu begitu cantik. Meski wajahnya menunjukkan ekspresi kesal, menurut Leo itu menggemaskan. Segera pria itu menghampiri salah satu adik kelasnya yang tengah duduk di pinggir lapangan.
"Hei, siapa gadis itu? Apa dia janitor baru di sini?" tanyanya mengundang tawa Jarvis, adik kelasnya.
"Yang benar saja gadis secantik itu jadi pembersih di sini. Namanya Keva. Dia freshman di sini, tapi sudah menjadi rebutan semua cowok," jawab Jarvis, "jangan bilang kau tertarik juga padanya?"
Jawaban Leo hanya diam. Tapi Jarvis sudah tahu artinya.
"Yah, sayang sekali. Asal kau tahu saja, aku pernah mendekatinya tapi ia tidak peka-peka! Pokoknya sulit sekali mendekatinya," kata Jarvis.
"Tidak ada yang sulit bagiku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Possessive Bad Boy
Short StorySeorang pemuda yang bersandar di kap mobil sport hitam legamnya sedari tadi menjadi pusat perhatian mahasiswa fakultas ilmu komunikasi di Universitas Eaglewood. Tato di sekujur tubuh atletisnya, pakaian dan mobil mahalnya, juga wajahnya yang tampan...