"Selendang ku hilang! Siapa yang mencuri selendangku?"
Salah satu dari yang paling tua maju untuk bertanya kepada adik bungsu mereka. "Dimana kau menaruh selendang itu, Nawang Wulan?"
"Disini! Bersama milik kalian."
Nawang Wulan panik. Tanpa selendangnya, tak mungkin ia bisa pulang ke khayangan. Apalagi selendang itu raib tanpa jejak, tak memungkinkan mereka mencarinya disaat hari menjelang malam.
Satu lagi mendekat, memeluk adiknya itu. "Nawang Wulan, kami minta maaf. Kami harus segera kembali ke khayangan dan meninggalkanmu disini. Ayahanda bisa marah kalau tahu kita masih disini."
"Kalau sudah ketemu, segeralah pulang. Kami menyayangimu." Setelah itu, mereka semua pergi meninggalkannya.
Ia kemudian bertekad. "Siapapun yang menemukan selendangku, kalau perempuan, akan kujadikan ia saudaraku. Kalau laki-laki, akan aku jadikan suamiku."
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
"Asli, boy. Ngeselin."
"Bener juga, haha. Untung orang tua gue gak strict sampe-sampe jodohin gue gitu."
"Ogah gue sebenernya. Mau nolak? Tau sendiri bokap kayak gimana."
"Susah sih, bos. Kalo emang syaratnya nyari pengganti. Mana ada cewek yang bisa tiba-tiba diajak jadi pacar."
Jaka terlihat diam dan berpikir. Benar juga kata Evan di sebrang telfon. Mana ada perempuan yang mau diminta untuk jadi pacarnya secara tiba-tiba.
"Kecuali gini, lo punya temen atau kenalan yang lebih cakep dari si Laras, terus lo bayar dia atau apa lah. Suruh jadi pacar pura-pura lo."
"Ye ngaco! Mana ada cewek mau digituin. Kalo ketauan juga bahaya."
"Yeh belom dicoba udah gitu. Kalo mau selamet, ikutin saran gue."
Tapi, saran Evan ada benarnya juga. Siapa tahu, ternyata cara itu ampuh?
"Bisa sih. Boleh deh gue coba."—tapi siapa ceweknya?
"Mau gue cariin cewek?"
Sebentar, Jaka tak mau kalau harus melibatkan orang lain, apalagi Evan. Kalaupun ketahuan, biar namanya saja yang buruk di mata orang tuanya, bukan Evan. "Enggak, bos. Makasih. Gue ada, kok. Udah ya, kayaknya dipanggil nih."
TUT.
Panggilan terputus sepihak dari Jaka. Pemuda itu membaringkan tubuhnya diatas kasur. Sesekali menatap jam dinding yang sudah menunjukkan angka delapan. Pikirannya buntu. Merasa tidak adil dan tersinggung karena dianggap tidak laku. Jaka baru ingat kalau jam sembilan nanti, akan ada makan malam bersama di restoran Papa. Tujuannya untuk membicarakan kerjasama Papa dan Pak Surya. Yah, meskipun Jaka tahu sebenarnya Papa ingin Jaka bertemu Laras lagi.
Laki-laki itu bangkit, mengambil secarik kertas buram dan bolpoin diatas meja belajarnya. Kembali duduk di balkon kamar. Cuaca masih cerah, rasi bintang makin nampak, bulan purnama pun terlihat semakin bercahaya. Waktu yang sangat tepat untuk menuliskan beberapa kata dari imajinya sendiri. Kata yang ingin di utarakannya setelah bertemu gadis manis tadi. Gadis yang kalau diingat lagi seperti tampak familiar di matanya.
Jalan Malioboro, Jogjakarta, tadi masih jam tiga sore. Sekarang sudah gelap.
Beritahu aku, benarkah jika malaikat hari ini sedang lengah dalam menjaga surganya?
KAMU SEDANG MEMBACA
JAKA & WULAN
Novela JuvenilClassical Clover Event🎉 Perkenalkan, kisah dua insan yang serupa dengan legenda lama. Jaka Tarub dan tujuh bidadari. Ini tentang Jaka Tarub Samudra dan Nawang Wulan Olivia. Kisah yang terlampau sama persis. Tentang kebohongan menembus batas, skenar...