X - TERUNGKAP

14 8 9
                                    

"Jadi, selama ini aku di bohongi oleh suamiku sendiri?" –Nawang Wulan

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Wulan benar-benar menghabiskan minggu kedua dan ketiganya dirumah sakit. Bersama Jaka, terkadang Evan. Kameranya juga senantiasa ia bawa, untuk memotret momen-momen tertentu yang tak akan ia dapatkan lagi saat kembali pulang.

Setelah kejadian sore itu, Wulan berusaha mengubah Jaka menjadi lebih baik, emosinya mulai stabil, sifatnya juga lebih bijak. Jaka yang dulunya masih dingin, berubah menjadi lebih hangat, ke semua orang.

"Tan, gimana, enakan?" Wulan menaruh gelas berisi teh hangat pagi hari di atas nakas dekat ranjang rumah sakit.

Mama mengangguk sambil tersenyum. Dalam hatinya berkali-kali mengucap syukur karena Jaka bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih baik sekarang. Meskipun sebenarnya Wulan dan Jaka baru resmi beberapa hari lalu, tak seperti dugaan Mama. Kebohongan Wulan juga murni dari otaknya sendiri, padahal terdengar seperti direncanakan, ya?

Wulan baru sadar, wajahnya berubah sendu. Ia tak bisa munafik dengan menampik fakta bahwa ia harus pergi. Cepat pulang untuk melanjutkan kuliahnya. Tapi rasanya hatinya sudah berhenti berlayar. Padahal tiket pesawat untuk besok sore sudah dipesannya. Secepatnya karena orang tuanya sedikit lagi kembali ke Singapura.

"Sayang, kamu kenapa?"

Wulan mendongak, menatap wajah Mama yang tampak khawatir. Lalu tersenyum dan menggeleng. "Enggak, Tan. Wulan cuma bingung, kalo Wulan pulang Tante gimana?"—kalo Wulan pulang, nasib Jaka gimana?

Mama hanya tersenyum kecut, lalu berusaha mengelus rambut halus Wulan dengan tangan kirinya yang tak terluka. "Kamu harus masuk kuliah ya? Kalo gitu, gak apa-apa. Liburan bisa kesini lagi. Lagian, sebelumnya kalian juga jarak jauh, kan?"

Deg!

Seharusnya Wulan tahu, resiko berbohong segini besarnya. Wulan hanya mengangguk lesu. Sebelum tiba-tiba, pesan dari Jaka membuat Wulan tersenyum. Jaka akan segera datang karena ujiannya telah usai, Wulan bisa pulang dulu untuk membereskan beberapa barangnya.

***

"Halo, bidadari!"

"Halo juga, tata suryaku. Kenapa?"

"Tebak, ada kabar bahagia."

"Apa tuh?"

"Mama boleh pulang! Nanti sore, Wulan dimana?"

"Pulang, kerumah kamu."

"Pantes gak ada. Eh, ke—rumah?"

"Iya, hihi."

"S-serius...kok gak bilang..."

"Sebentar aja kok, udah dulu ya, bye!"

Wulan menutup teleponnya. Sempat heran kenapa Jaka tampak begitu gugup saat Wulan bilang ia kembali kerumah Jaka. Memang ada yang salah dengan Wulan pulang kemari?

Wulan baru ingin beranjak untuk membereskan barangnya, tapi ia tiba-tiba teringat akan sesuatu. Ia harus mencari kotak besar untuk menempatkan kamera polaroidnya sebagai kenang-kenangan untuk Jaka. Wulan memang belum memberitahu ia akan pulang esok, tapi Wulan ingin memberikan kesan terbaik hari ini.

Gadis itu lalu pergi ke gudang, niatnya mencari kotak, tapi matanya malah menangkap sesuatu berwarna emas yang memantulkan cahaya matahari dari sela-sela atap. Tertumpuk buku-buku filsafat yang teronggok berdebu. Wulan menghampiri benda tadi, sebuah kotak kecil berwarna emas. Kotak yang sama seperti yang biasa Jaka bawa kemanapun.

"Buka gak, ya?"

Sempat ragu, karena Jaka selalu melarangnya membuka kotak itu. Mengalihkan pembicaraan ketika Wulan menanyakan isi kotak tersebut. Tapi Wulan penasaran, dan rasa penasaran seorang Wulan tak dapat dibantah.

Maka, diam-diam Wulan membuka kotak kecil di tangannya, lalu dadanya mendadak berdegup kencang.

***

Matahari tinggal separuh, ufuk timur tampak jingga, Jaka pamit lebih dulu dari rumah sakit. Kembali mengutuk dirinya sendiri karena telah bodoh meninggalkan kotak tersebut di gudang. Berpikir lebih aman karena Wulan selama ini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit. Semoga saja, semoga hal baik menyambutnya.

Baru saja membuka pintu, Jaka disambut dengan Wulan yang menatapnya kosong. Satu tangan disembunyikan di belakang tubuh, satunya lagi terkepal erat.

"Wulan..."

"Kenapa paspor aku ada di kotak emas kamu?"

Jaka meneguk salivanya dengan payah. "Ma-maaf...Wulan..."

"Kamu yang ambil paspor aku, iya?!"

Wajahnya memerah, sedikit menahan amarah. Selama ini, Jaka membawa kotak kecil itu kemana-mana. Bahkan sejak hari kedua mereka bersama. Sejak awal, Wulan sudah cukup curiga, dan kecurigaannya tak meleset jauh. Jaka benar menyembunyikan sesuatu darinya, tapi ia tidak menyangka kalau sesuatu itu adalah barang berharga miliknya. Penunjang kehidupannya, cita-citanya.

"Wulan...waktu itu gu-gue nemuin itu di kafe..."

"Terus kenapa gak langsung kamu kasih? Kenapa harus kamu simpen diem-diem dari aku?!" Amarahnya memuncak. Merasa dirinya bodoh telah percaya akan cinta yang membutakannya. Padahal, jelas-jelas orang di hadapannya kali ini sudah membohonginya, membuatnya mungkin nyaris kehilangan masa depannya di negeri sebrang.

"Oh, mau manfaatin aku? Supaya gak dijodoh-jodohin? Jawab!"

Jaka diam, menunduk. Benar-benar merasa bersalah. Kali ini, Jaka percaya karma. Ia tak tahu jika berbohong akan sebegini besar akibatnya.

"Aku nyaris gak kuliah sebulan, Jaka! Kalo ternyata aku dikeluarin, kamu satu-satunya orang yang bakal aku salahin abis-abisan! Kamu satu-satunya orang yang bakal aku benci, peduli setan mau minta maaf kayak apa, egois! Munafik!"

Wulan lalu beranjak ke kamarnya, menggeret koper dari dalam dengan kasar, lalu menabrak tubuh Jaka yang mendadak sadar dari penyesalannya. Menarik tangan gadis itu, membuat mereka berhadapan. "Jangan pergi..."

"Setelah yang kamu lakuin? Makasih banyak, kamu ngajarin aku buat gak gampang percaya lagi sama orang."

Dengan kasar, Wulan menepis tangan Jaka. Melangkah keluar dengan tergesa. Bahkan Mama dan Papa yang baru keluar garasi kaget karena Wulan tiba-tiba pergi dengan berderai air mata. Jaka menendang sebuah vas keramik didekatnya, isinya berhamburan, berantakan. Marah pada dirinya sendiri, keegoisannya sendiri.

Setelahnya, ia baru ingin mengejar, sebelum tiba-tiba Papa menahan tangannya.

***

844 words.

Nahloh ketauan kan..

Happy/Sad? Huy!

JAKA & WULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang