VI - BALAS BUDI, SKENARIO BARU

25 11 4
                                    

"Namaku dewi Nawang Wulan, aku kehilangan selendangku di sungai tadi." –Jaka Tarub

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Jaka. Panggil aja gue Jaka." Jaka tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan kearah gadis manis di hadapannya. Matanya yang bulat tampak sedikit membesar karena menangis, hidungnya memerah dan napasnya tak teratur. Jaka sempat merasa bersalah, tapi hidupnya juga sedang terancam.

"Kok diem? Lo kenapa?" Jaka masih menatap Wulan dengan seksama. Gadis itu hanya memandang lurus, acuh bahkan saat Jaka mengajaknya bicara.

"Ayo lah, cerita aja, siapa tau gue bisa bantu?"

Wulan masih bergeming. Lalu memutuskan untuk bangkit dan menyeret kopernya entah kemana. Jaka ikut berdiri, lalu menahan pergelangan tangan Wulan. "Mau kemana?"

"Ck, ya udah kalo gak mau disini, ke kafe aja dulu, yuk?"

Tanpa perlu jawaban, Jaka menarik gadis itu menuju kafe. Wulan menurut saja, toh ia sendiri bingung harus apa dan harus kemana sekarang.

Sesampainya di kafe bandara, Wulan dan Jaka memilih tempat duduk di dekat jendela. Jaka mengamati gadis itu lamat-lamat, sambil sesekali menekan sesuatu yang terus mencuat dari balik kantung jaketnya. "Coba kenalin dulu nama lo siapa, terus cerita. Dari sekian banyak pengunjung bandara lo doang yang diem sambil sesenggukan gitu, kasian gue."

"Wulan."

"Wulan kenapa?"

"Paspor aku, gak tau kemana."

Sempat sedikit terkejut, cara bicara gadis ini memang benar lugu. Jaka gemas, berusaha sekuat mungkin untuk tidak terkikik geli disaat seperti ini.

"Wulan mau kemana?"

"Mau pulang."

"Pulang? Kemana?"

"Sebenernya, aku emang lahir disini, tapi kuliah di Singapura. Tinggal juga disana. Liburan ke Jogjakarta sama temen yang lain. Tapi sialnya, paspor aku ilang. Mereka harus pulang, semester baru mau dimulai, aku gak bisa pulang. Bingung harus kemana."

Jaka berdehem pelan. Apakah, ia jahat sekarang?

"K-kalau gak kuliah selama beberapa hari, kenapa?"

"Kalo gak ngulang, nyusul belajar mata kuliah yang ketinggalan. Plus tugas makalah dan bimbingan."

"Beneran gak ada keluarga disini?"

Wulan kali ini mengiyakan. Betul, ia sendirian di negeri asing—padahal tanah kelahirannya sendiri.

"Gini aja, lo udah bantuin Mama tadi siang. Jadi, kalo gue bales budi gak apa-apa kan, ya?"

Wulan langsung memusatkan perhatiannya kepada Jaka. Menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulutnya.

"Selama lo gak punya tempat tinggal disini, uang lo gak cukup buat nyewa hotel dan tinggal sendiri, lo bisa tinggal di rumah gue."

Gadis itu terlonjak kaget, sekaligus senang, ada orang baik—yang meskipun baru ia kenal—menawarkannya sebuah tiket emas.

"Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Lo harus bantuin gue. Nurut apa yang gue bilang dan gue jelasin ke orang tua gue nanti."

"M-maksudnya?"

"Jadi pacar gue, pura-pura aja."

***

Pintu rumah terbuka begitu saja. Sebenarnya Jaka sempat bersyukur karena diriya membawa motor sendiri tadi. Ada untungnya juga ternyata.

Kakinya melangkah pelan, membuka pintu rumah, dan disambut dengan pemandangan kedua orang tuanya tengah berbincang serius.

"Ma, Pa..."

Suara Jaka menginterupsi kegiatan mereka. Mama dan Papa menoleh, Papa bangkit terlebih dulu. Wajahnya memerah padam, tampak marah akan kejadian tadi. Sementara Mama disana, menenangkan Papa dengan mengusap punggungnya.

"Dari mana aja kamu?," Jaka diam, tak berminat untuk menjawab pertanyaan Papa.

"Kamu keterlaluan Jaka! Papa dibuat malu di depan orang tua Laras karena kelakuan kamu! Sesusah itu ikutin kemauan kita kali ini?!"

Jaka tetap bungkam, wajahnya datar, menatap lurus ke arah Mama. "Masih untung Papa Laras gak mutusin kerjasama kita. Bawa pacar sekali aja gak bisa, mau sok ngehindarin Laras. Pokoknya setelah ini, Papa gak mau tau, kamu harus langsung jadi tunangan—"

"Pa!"

Papa terlonjak saat anak laki-lakinya berucap dengan nada sama tingginya. Mama pun begitu.

"Pa, Jaka udah gede, tolong. Kalo Jaka disuruh jadian sama Laras atas dasar kerjasama kalian para orang tua, Jaka gak bisa. Jaka punya hak, Jaka punya perasaan. Belum waktunya Jaka mikirin hubungan. Jaka masih kuliah. Jaka udah cukup ngikutin kemauan kalian selama ini. Sekarang, Jaka gak bisa." Jaka memohon, tapi tidak menghamba.

Papa diam. Tak bisa berkata-kata lagi. Benar juga, selama ini Jaka cukup menurut. Contohnya, keinginannya menjadi sastrawan sambil bermusik harus pupus karena Papa ingin Jaka menjadi dokter.

"Kalo Papa mau bukti Jaka juga punya perasaan, Jaka bisa buktiin."

Jaka melongok keluar. Lantas menarik lengan seorang gadis muda yang sedari tadi mendengarkan keruhnya pertikaian antara orang tua dan anak itu dibalik pintu.

"Ini Wulan. Pacar Jaka, dia kuliah di Singapura. Karena Laras, Jaka terpaksa nyuruh dia kesini dan minta dia tinggal disini buat sementara waktu."

Papa terkejut, begitu pula Mama yang sedari tadi hanya diam, kini bergerak mendekati Jaka dan Wulan. Menarik dagu gadis itu dengan lembut. "Ini, Wulan yang tadi? Wulan yang bantu Tante, iya?"

Wulan mendongakkan wajah, mengangguk pelan ke arah Mama.

Sebenarnya ada rasa lega yang menyusup masuk kedalam hati Mama. Meskipun terasa ganjal mengapa anaknya tiba-tiba bisa punya kekasih—atau Mama yang memang tidak tahu karena Jaka mungkin menyembunyikan hubungannya. "Kamu kok, gak bilang Mama, Jaka?"

"Sengaja. Lagian, Jaka gak berpikir kalian bakal nganggep Jaka se-gak laku itu sampe jodohin Jaka." Ekor matanya mendelik kearah laki-laki tua yang kini merasa bersalah. Tapi namanya juga Papa, paling tidak suka dikalahkan—kecuali oleh Mama.

"Kenal anak saya dari mana, nak Wulan?"

Wulan mematung karena merasa namanya terpanggil. Jaka sendiri merubah posisi tangannya, menggenggam jari-jari Wulan kuat-kuat, menyalurkan kenyamanan, supaya gadis itu tak salah ucap. "Wu-Wulan kenal Jaka dari...masih sekolah, Om. Wulan adik kelas Jaka dulu."

Gotcha!

Papa memijat pelipisnya. Pupus sudah harapannya menjodohkan Jaka dengan Laras. "Pa, Wulan yang bantu Mama tadi siang. Inget kan ceritanya?"

Papa mengangguk. Wulan terlihat seperti anak baik-baik. Cara bicaranya juga lembut tapi tak menuntut seperti Laras. Untuk kali ini, pria tua itu memutuskan untuk menyerah pada ego-nya sendiri.

"Kalo udah gini, Papa gak bisa maksa kamu, Jaka. Papa minta maaf pernah mandang buruk kamu." Sementara anaknya itu tersenyum kecil. Sudut hatinya menyorakkan kebahagiaan. Tanpa sadar, ia mengelus lembut punggung tangan Wulan dengan ibu jarinya. Cukup membuat Wulan menoleh kearah Jaka yang tengah tersenyum kepadanya.

Mama mengelus bahu anaknya. Membisikkan sesuatu dengan pelan. "Kamu berhasil, Jaka."

Papa sadar, bahwa semuanya kembali pada takdir. Lagi pula, kalau memang pekerjaannya harus menjadi korban, itu sudah resiko. Jika jodoh, pekerjaan lain akan datang. Karena mengorbankan perasaan orang lain demi kebahagiaan sendiri adalah sikap seorang pengecut.

***

994 words.

Tbc.

xoxo,

:)

JAKA & WULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang