Namaku Bae Joohyun.
Aku lebih sering di panggil Irene.
Aku seorang remaja berumur 18 tahun.
Aku tinggal di Skandinavia.
Sebuah kota dengan populasi rendah.
Namun semuanya baik-baik saja sebelum aku melewati sebuah dinding yang bersinar dan masuk...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🎆🍦🎆🍦🎆🍦🎆🍦
Tepat jam empat subuh. Ibu membangunkanku dengan cara menguncang-guncang tubuhku serta memanggil-manggil namaku.
Sekarang yang aku lakukan adalah duduk di depan televisi, menunggu Ibu pulang. Niatnya sih ingin mengikuti, tapi hawa dingin menusuk terpaksa membuatku bergelut dengan selimut di sova sambil menonton film di depan televisi.
Film subuh hari begini lumayan menghibur. Banyak film kartun yang aku sukai, setidaknya aku tidak bosan menunggu Ibu pulang dari pasar subuh, ralat, pulang dari hutan yang entah untuk apa Ibu kesana.
Satu kata yang terpikir di otak ku adalah, Ayah. Aku sama sekali tidak lihat Ayah, maka aku putuskan untuk naik ke atas menuju kamar Ayah dan Ibu untuk melihat Ayah.
Pelan-pelan aku membuka pintu kamar Ayah dan Ibu. Yang aku lihat hanyalah kasur yang kosong terlihat rapi. Tidak ada siapa-siapa di atas ranjang sana. Masa sih Ayah tidak pulang-pulang juga.
Duk duk duk duk
Mmmm! Mmm!
Duk duk duk duk
Mmmmmm!!!
Samar-samar aku mendengar suara seseorang yang tengah menggedor-gedor sebuah ruangan. Aku menyeringitkan alis. Yang tadinya aku berada di depan pintu kamar Ayah-Ibu, kini aku tepat di tengah rungan kamar Ayah dan Ibu. Mencari asal suara gedoran dan teriakan tertahan itu.
Duk duk duk
Tepat di bawah tempat aku berpijak. Lantai yang aku pijaki bergerak-gerak. Aku bergerser sedikit. Lantas aku berjalan ke arah saklar lampu untuk menghidupkan lampu kamar agar terlihat terang. Tepat di tangah kamar, ada sebuah pintu atau apalah itu tidak tahu namanya, bentuknya persegi dengan sisi sepanjang 50 cm.
Aku berlari ke arah dapur, mengambil sebuah pisau makan. Lantas kembali berlari naik menuju kamar Ayah-Ibu.
Lantai itu masih bergerak-gerak menimbulkan bunyi duk duk yang nyaring terdemgar jelas di telinga serta teriakan yang tertahan.
Dengan gemetaran aku berjongkok dan mencoba mencongkel lantai kayu itu dengan pisau. Sulit sekali membukanya, tidak ada celah sedikit pun untuk mencongkelnya. Lantas aku mencoba mencongkel lantai kayu itu dengan pisau makan sampai pisau itu bengkok.
Lantai kayu itu terlempar beberapa langkah saat aku memaksa mencongkel. Aku juga duduk terjengkang ke belakang. Aku berdiri dan memegang pisau bengkok itu siap di tangan dan mengancung ke bawah. Dengan gemetar aku menengok ke arah bawah.
Aku terkejut setengah mati melihat siapa pelaku yang sedari tadi menggedor lantai kayu.
"Ibu, Ayah." Lirihku gemetaran dan menjatuhkan pisau makan bengkok itu ke lantai.