Chapter 2

35K 4.1K 665
                                    

Gue ke kantin bareng Chenle dengan jalan yang beriringan.

Di sepanjang jalan, gue bisa dengar kalau anak-anak pada bisik-bisik soal hubungan gue sama kak Renjun. Mereka jelas, terima dan bersyukur kalau kita putus. Gak heran, bagaimana terkenalnya seorang Huang Renjun.

Gue mempercepat langkah gue, buat Chenle cuma diam ngikutin aja. Gue bisa tebak, kalau Chenle dengar apa yang gue dengar dan coba mengerti posisi gue saat ini tanpa banyak bacot.

Gue mengedarkan pandangan kesegala penjuru ruang kantin. Dan semua meja penuh, yang berarti tidak ada tempat kosong untuk kita berdua.

Dan itu artinya, Tuhan sekarang tidak mengizinkan gue yang sedih ini menikmati masakan ibu kantin dihari pertama masuk sekolah setelah liburan kelam kemarin.

"Kosong Chen." Bilang gue bertepatan Chenle berhenti disebelah gue.

Dia dengan mata minimalisnya itu mengedarkan pandangan, mencari tempat duduk. Gue menghela napas, karna apa yang dia lakukan itu percuma.

"Udahlah kita—" belum selesai gue berbicara, Chenle udah motong dan narik tangan gue menuju kesalah satu meja yang masih muat untuk dua orang.

"Maaf ya, bukan nya gue gak ngerti perasaan lo. Tapi posisinya kita sama-sama laper." Ucap Chenle seiring dia bawa gue menuju ketempat yang ia tuju.

Awalnya gue gak ngerti apa yang dia bilang, sampai mata gue menangkap Jeno dengan teman-teman nya di bangku yang ada didepan mata gue sekarang ini.

Kalau disana ada Jeno dan teman-teman nya, otomatis ada kak Renjun yang statusnya selain mantan gue juga sahabat segang nya Jeno.

Bagai sulap, ajaibnya mata gue tanpa perlu gue cari-cari bisa dapet sendiri dimana kak Renjun duduk sekarang.

"Kita gabung ya. Gak ada tempat lain nih." Bilang Chenle yang memang cukup dekat dengan mereka juga.

Belum gue menolak, Chenle udah narik gue duduk.

Gue gak tau ini bisa dibilang untung atau bukan, yang pasti disebelah gue ada Jeno dan Chenle. Tapi sialnya, didepan gue ada kak Renjun yang sedaritadi terang-terangan natap gue dengan mulut yang dibentuk senyum semanis mungkin.

Ini sih alamat daripada kenyang makan nasi, gue bisa-bisa kenyang makan hati gegara gamon tiba-tiba.

"Kayak gak ada tempat lain aja." Bisik Jeno disebelah gue, yang buat gue menyenggol kaki Chenle setelahnya.

Dan Chenle yang sadar dengan senggolan kaki gue, cuma bisa noleh sambil senyum tipis yang tersirat di senyumnya dia minta maaf.

"Kebetulan kita belum pesan, gue pesenin aja ya." Bilang Jaemin yang bangkit dari kursinya natap kita semua.

"Gue sama Jena nasi goreng aja bang. Jangan lupa es teh manis nya." Bilang Chenle yang tak gue bantah sama sekali, karna gue udah bilang sama dia pas dikelas tadi kalau gue pengen nasi goreng.

Jeno yang disebelah nyahut, "gue sama. Nasi goreng aja."

Lalu entah kenapa semua juga pesan nasi goreng, kecuali kak Renjun dan kak Mark yang pesan bakso. Gue yakin kalau alasan kak mark pesan bakso karna mungkin dia bosan dengan nasi goreng, beda sama kak Renjun yang dari dulu gak pernah mau makan nasi goreng sampai gue mikir dia gak suka nasi goreng. Tapi, dia gak pernah klarifikasi ataupun ngomong benar atau enggak nya asumsi gue itu.

Makin gue pikirin, gue makin nyadar kalau gue gak setau itu tentang kak Renjun walaupun hubungan kita jalan setahun.

Biarpun hanya dianggap adeknya, setidaknya gue harusnya tau apa kesukaan dia dan apa yang bukan jadi kesukaan dia. Anehnya, ini sama sekali enggak. Kayak, hubungan kita ini bukan pacaran ataupun kakak Adek, tapi kayak kenalan yang kebetulan sama-sama terus selama setahun belakangan.

Miris, batin gue mengatai diri sendiri.

"Eh Jen." Panggil Haechan, yang merupakan sepupu gue dengan Jeno, buat gue dan Jeno noleh kearahnya sama-sama.

"Lo panggil Jen itu buat siapa? Gue atau Jena?" Tanya Jeno kesal karna kita berdua merasa terpanggil.

Haechan cengengesan natap Jeno terus beralih natap gue. "Na." Panggilnya, yang baru aja mau gue sahutin udah didulukan sama laki-laki yang baru datang terus duduk disebelahnya.

"Apaan, panggil panggil?" Tanya Jaemin keheranan.

"Bukan lo!" Dengus Haechan kesal.

"Lah? Terus tadi Na itu apa?" Jaemin juga kesal dengan Haechan.

"Gue manggil Jena! Na, Jena!" Haechan nunjuk gue, terus menekankan nama akhiran gue yang berakhir Na.

Jaemin menggidikkan kedua bahunya, "biasanya lo panggil gue Nana. Lo lupa?"

Sontak saja kita semua tertawa, apa lagi melihat Haechan yang hanya bisa sabar. Lagipula, kesalahan dia sendiri yang keseringan memanggil Jaemin dengan panggilan Nana. Gak heran sih, nama Jaemin kan, Na Jaemin.

Tak lama itu, makanan kita dateng dan kita larut dalam makanan masing-masing.

Walau gak larut banget, karna Jeno sempet tanya-tanya tentang kelas gue dan wali kelas gue bagaimana sama gue. Terus Chenle yang kambuh penyakit gosipnya, bergosip ria bareng Haechan dan Jaemin.

Sementara orang yang menyita perhatian gue daritadi asik mendengarkan percakapan kita, tanpa mau menyahut atau sekedar ikut-ikutan.

"Eh Jena." Panggil Haechan lagi, yang sekarang tidak dengan Jen atau Na. Tapi dengan nama lengkap gue, Jena.

"Apa?" Tanya gue yang masih mengunyah nasi goreng.

"Lo nanti pulang sama siapa? Gue sama Jeno kan basket." Tanya Haechan, buat gue diam terus mikir sejenak.

"Lo kan biasanya bolos? Kenapa jadi rajin gini?" Tanya gue heran, padahal dia sering bolos latihan. Tapi kenapa dia tiba-tiba jadi rajin dan gak mau bolos gini?

Haechan berdecak. "Terlalu sering gue bolos jadi kangen tau! Pikirin aja diri lo tuh, pulang sama siapa?" Gue Diem.

Mata gue tanpa sengaja ngelirik kearah kak Renjun, yang rupanya tengah menatap gue terang-terangan. Ini kalau posisinya gue sama kak Renjun masih pacaran, kita bakal pulang bareng bagaimanapun caranya.

Terus terlintas satu nama di otak gue. "Chenle." Bilang gue, jangan lupakan dengan tangan gue yang udah nunjuk Chenle disebelah gue.

Chenle yang belum gue bilangin, otomatis batuk-batuk gaje. Begayaan kaget, padahal cuma di ajakin pulang bareng. Bukan di ajakin kawin bareng. Heran.

"Kok gue baru denger?! Lo lupa? Gue kan harus les bahasa Cina hari ini!" Omel Chenle dengan suara lumba-lumba nya yang khas buat gue meringis.

Persetan dengan tolakan nya, ini telinga gue udah berdenging gara-gara bacotan nya yang udah ngalahin suara lumba-lumba, mungkin.

"Udah-udah, Jena biar pulang sama gue aja." Ucap seseorang yang suaranya sangat gue kenali, buat semua orang-orang yang berkumpul dimeja ini diam dan natap kearahnya.

Kayaknya bukan rahasia publik lagi, kalau gue sama kak Renjun udah putus. Iya, tadi yang ngomong buat ngajakin gue pulang itu si mantan. Kak Renjun.

Dia natap gue nunggu persetujuan dari gue. "Gimana?" Tanya nya yang gue cuma diam sambil senyum canggung.

Gue melirik kearah Jeno disebelah gue, yang mukanya datar-datar aja kayak gak peduli dengan ajakan kak Renjun yang entah bakal gue setujuin atau enggak. Terus gue melirik kearah yang lain, yang tengah sibuk mengalihkan tatapan mereka agar tidak bertabrakan dengan mata gue.

Gue balik menatap kak Renjun lagi. Menghela napas dalam, dengan terpaksa gue mengangguk.

"Iya kak." Bilang gue menyetujui, yang dia pun mengembangkan senyumnya makin lebar.

Lagipula gue sama kak Renjun putus dalam keadaan baik-baik. Toh, bukan jadi masalah kalau kita berhubungan lagi kayak dulu, sebelum jadi sepasang kekasih.

Ah ralat, sepasang kakak Adek yang kebetulan statusnya kekasih.

Daripada gue gak pulang?

***

Mantan | Renjun✔️ [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang