Cerita serupa dalam POV Erina bisa kalian cek di Dwrite9 dengan judul yang sama. Selamat membaca!
Erina Mayangsari, dia adalah sahabat kecil, saudara, juga partner kerja yang selalu membuatku merasa nyaman. Namun berkebalikan dengan apa yang hati ini rasakan.
Aku selalu bersikap dingin padanya, sesekali hanya membuatnya tertawa dengan candaan untuk sekedar mengobati luka. Dia gadis cantik yang selalu membuatku merasa nyaman.
Parasnya sungguh menarik hati. Jika tersenyum, seolah rembulan mencair dan lantas tumpah di wajahku, lalu ke hatiku. Dia sering memanggilku dengan Win, sama seperti seseorang. Tapi kebanyakan teman memanggil Haikal, karena panjangnya Win Haikal.
Jujur aku telah lama memendam rasa pada Erina, memendam keinginan untuk memiliki di saat ia telah dimiliki orang lain. Tak mengapa. Setidaknya kami selalu dekat. Rumahnya berseberangan dengan rumahku, hanya perlu berjalan lurus untuk sampai kehatinya, eh! Maksudnya rumahnya.
Orang tua kami sudah akrab sejak lama, bahkan sering liburan bersama, dulu. Sekarang Erina malah lebih sibuk dengan perasaannya. Ia lebih senang menceritakan hal manis dan romantis bersama pacarnya. Di sampingku. Ya, di sampingku.
Kebayang kan gimana rasanya? Nyesek. Tapi aku lebih memilih bersikap dingin padanya karena ingin terus melihat senyumnya. Aku tak ingin mengganggu, agar tidak ada yang sakit karena aku.
Merelakan memang sulit, tapi menikung di saat jalanan licin ketika hujan sedang lebat-lebatnya itu membahayakan. Pasti akan ada yang jatuh dan terluka. Iya kalau ambulan cepat datang, gimana kalau ajal yang cepat datang? Duh, kok malah mikirin ajal ya. Mungkin karena cinta dan ajal punya kesamaan. Ya, datang tiba-tiba.
***
Aku menemukannya menangis di hari itu. Kudekati tapi tidak dengan acara peluk-elus kepala, belai-lebai, sok baik di depannya tapi ada maunya. Bukan gayaku. Aku hanya bertanya seadanya dengan wajah datar dipaksa, acuh tak acuh, padahal sangat khawatir.
"Patah hati?" Kataku sambil duduk di sampingnya.
"Enggak, Win! Lu gak liat gua lagi ketawa nih." Sahutnya dengan nada yang lebih tinggi sambil menunjuk-nunjuk air matanya."Oh, kemaren temen gue cowok nangis kek elu" Erina terperanjat. Tangisnya seketika terhenti. Matanya melebar, alisnya mengangkat, masih dengan kilapan bening air mata di pipinya.
"Loh, cowok nangis? Terus?"
"Besoknya ninggal."
Spontan Erina berdiri refleks, terkaget-kaget. Aku menertawakannya.
"Iih ... Nyebelin banget sih ni orang." Tangannya cepat mengambil vas bunga di atas meja lengkap dengan bunganya, ingin melempar. Tapi aku sudah lebih cepat meraih tangannya erat, ia kembali terkaget-kaget. Tanganku tepat berada di atas tangannya yang memegang vas bunga.
Kuturunkan perlahan, tanganku masih menempel dengan tangannya. Ia tak berontak. Malah manut tanpa sepatah kata. Lantas kuambil setangkai bunga dalam vas itu yang terbuat dari kain flanel merah jambu. Aku menatapnya tajam.
"Cukup Rin! Gak ada gunanya berlama-lama terlunta dalam cinta loe itu, apalagi bersedih hati karena seorang lelaki bajingan yang udah mematahkan hati loe. Kuat dong! Udah jangan nangis! Jadilah sekuntum bunga yang takkan pernah layu." Tegasku sambil menyodorkan setangkai bunga itu padanya lalu pergi begitu saja.
Memendam perasaan memang sulit, sesulit menerjemahkannya ke dalam bahasa yang dapat di pahami. Namun tetap saja, aku masih menyimpan kekaguman pada Erina yang baru patah hati.
Bagiku perasaan juga tak harus aku katakan langsung sebab berpikir pasti aku akan lebih pantas untuknya. Toh, mereka hanya cek-cok, biasa lah masalah cemburu meski si Robi pacarnya itu memang bajingan kelas kakap.
Tapi bisa aja kan mereka dewasa seketika dan baikan lagi. Aku mengangguk pelan sambil berjalan, seolah tengah berdiakusi di depan cermin.
Baru sampai rumah, ping! Ada chat dari Erina.
"Win. Maafin aku. Iya aku egois banget tadi. Kek anak kecil."
Aku tak balas. Sengaja agar dia penasaran. Aku yakin besok dia akan datang ke rumahku sambil memohon. Aku akan jadi raja saat itu.
***
Waktu itu, malam tahun baru berlalu begitu saja saat aku masih berada di rumah, malas keluar, malas nge-chat siapapun. Termasuk wanita yang kusuka sebab takut mengganggu mereka yang mungkin sedang bermesraan.
Tiba-tiba terbayang olehku sosok Erina yang dipeluk oleh pacarnya di bawah kembang api. Arch! Aku kesal sendiri sambil memeluk guling, tak terima. "Hey, Rin. Tidurlah di pelukanku," kataku bicara pada guling waktu itu.
Beberapa hari setelahnya, aku dan Erina sudah berada di ruang tamu, duduk-duduk santai seperti biasa. Hanya ada satu yang tidak biasa, tiba-tiba Erina memakai parfum beraroma kalem lembut.
Aku hampir ingin mempertanyakan tapi terlanjur memasang wajah dingin tanpa tatapan. Aku hanya menatap layar HP, dia mulai sebal.
Bahkan saat gadis itu mengatakan padaku bahwa ia telah resmi putus sama pacarnya. Duh, seperti ada cahaya menembus hatiku. Berasa tubuhku melayang lalu terbang bersamanya dan singgah pada gumpalan awan selembut kapas. Wajahku tetap datar ditahan.
Aku ingin teriak, yes. Tapi juga tak tega saat dia menangis. Sesekali aku masih mengejeknya seperti biasa. Ia sebal, sangat sebal dan lantas pulang.
Diam-diam aku mengikuti dari belakang, entah kenapa. Seperti ada yang mengganjal hatiku. Tiba-tiba bunyi klakson sebuah mobil seolah memecah udara disekitar, begitu jelas terdengar.
Bego! Itu orang santai banget jalannya, nunduk lagi. Spontan sekencang mungkin kuhempaskan langkah kaki berlari.
Yang kupikirkan saat itu hanya Erina. Jantungku memompa kencang, gugup. Aku cepat melompat meraih tangannya lalu menarik dan mendekapnya kuat, melebihi kuatnya mendekap guling tadi malam. Oh iya, akhirnya aku dapat memeluk Erina juga. Pikiran licikku menyela cepat.
Sekejab kurasakan hangat tubuh Erina, jantungnya yang berdegup kencang, serta jemarinya yang mencengkram kuat dadaku. Ia sangat ketakutan. Mobil itu berlalu dengan kencangnya.
Kami terhempas ke tanah. Aku sengaja memutar badan agar tubuh cantik Erina tidak lecet tergores bebatuan. Gantian tubuhku yang dihantam.
Punggungku terasa ditombak batu kerikil. Kurasa malam ini akan bengkak dan biru. Tapi sakitnya kutahan demi terlihat keren di depan Erina.
Kami cepat bangkit, aku memarahinya tapi mengantarnya pulang. Bukan semarah karena kesal, tapi karena takut kehilangan. Ia mengerti dengan cepat.
Malam ini tubuhku benar-banar ngilu gara-gara kejadian tadi siang. Tapi aku tak menghiraukannya. Aku sibuk membayangkan Erina, lalu memeluk bantal guling. Sejak saat itu, tidurku tak pernah nyenyak karena Erina terus-terusan terbang di kepalaku.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner Hati (Selesai)
Short StoryErina yang humoris bersanding dengan Win si muka tembok yang hidupnya tanpa disadari sangat dramatis. Mereka dipertemukan dalam satu ruang hati. Mereka sama-sama pernah terluka akibat cinta yang gagal. Lalu perasaan di antara keduanya kembali muncul...