Saat Dunia Tidak Membutuhkannya, Dia Datang

101 16 0
                                    

Cerita serupa dalam POV Erina bisa kalian cek di Dwrite9 dengan judul yang sama. Selamat membaca!

"Cinta itu perlu didasarkan dengan perasaan, lalu disadarkan dengan saling pengertian."

***

Sejak tadi, Erina terus-terusan nyengir sepanjang jalan. Senyumnya tampak bahagia meski gaunnya yang sobek dan basah juga wajahnya yang persis anak kurang gizi (ya iya lah, liat aja badannya cebol gitu, tuyul prematur aja gak sampe segitunya) mengatakan bahwa tadi dia sempat tidak baik-baik saja.

Syukurlah, semua dapat berjalan lancar. Aku bahkan ikut tertawa saat melihat wajah bekantan itu terus-terusan terkekeh-kekeh sendiri seperti orang sinting. Ia menatapku, senyumnya terhenti. Aku berpaling cepat, pura-pura tak liat.

Suasana hening sekejab, kami terdiam menahan tawa. Tiba-tiba terlihat seorang anak kecil bersepeda masuk got.

"Bwahahaha ... " Tawa kami kembali pecah memenuhi ruang mobil. Aku makin terbahak saat Erina tertawa sambil terkentut-kentut.

Seorang pengendara motor di samping menatap horor pada kami, menggeleng-geleng sambil mengelus dada.

"Udah ah, tawa mulu."

"Tumben lu ketawa, Win. Biasanya aja pasang muka tembok."

"Lu pikir tembok Cina," Erina tersenyum. Entah kenapa wajahnya tampak manis kalau lagi senang-senangnya.

Suasana kembali normal. Kami mulai melewati jalanan yang teduh. Tampak pohon-pohon berjejer di sepanjang jalan dengan rindangnya.

Tiap ranting dari pohon-pohon itu dipenuhi bunga semerah mawar yang tengah asyik berjatuhan, menari-nari diudara dengan bebasnya. Entah kenapa aku tiba-tiba terbayang Erina dengan gaun India tengah berputar-putar dengan selendang melilit lehernya. Ya, lehernya. Juga udel terbuka. Auto lagu India.

"Oh iya, Rin. Tadi ... Gue minta maaf banget sama lo, dah ninggalin gitu aja. Tau-tau tu muka ame gaun dah kek abis diacak tsunami."

"Iiih ... Jangan diingetin bego. Malu-maluin tau nggak," tangannya bergerak mencubit pahaku.

"Aduduh .... Sakit tau."

"Sakitan mana coba? Gue makan, nungguin elo, belum juga tuh sate ketelen, si MC gemulai itu dah nyelonong nyuruh naik panggung buat ngucapin selamat sama si laknat dan istrinya. Eh, tiba-tiba pas dijalan ketabrak cewek bawa minum, basah dah. Terus lagi tuh, pas mau naek tangga, lah! Gak sadar gua ada paku, ya sobek dah ni gaun. Mana cicilan belum lunas lagi."

"Ngenes banget lu mblo."

"Ya, udah gitu pas di panggung, Win! Tu mikrofon nyemprot gue. Kebayang gak sih dandanan gue berjam-jam luntur detik itu juga. Lo kebayang kan gimana tamu-tamu ngakak ngetawain gue. Uh! Apa lagi pas gue liat wajah si jalang sama si kampret itu cekikikan, rasanya heeh ... "

"Ya, iya deh ... Maaf gue dah ngilang tiba-tiba waktu itu."

"Maaf!" Teriaknya padaku. Erina menyapu mulutnya, aku menyapu wajahku. MUNCRAT!!!

"Iye gue maafin," lanjutnya sambil menghela napas.

Lah? Gak jadi marah? Padahal kupikir dia mau melanjutkan memakiku sampai puas. Sejak dulu dia selalu menyalahkan siapapun yang sudah membuatnya kesal. Selalu!

Tapi sekarang dia nampak aneh. Bahkan beberapa hari yang lalu dia juga sempat bersikap seperti ini.

"Gue ... Juga ... Mau minta maaf sama lo, Win. Gue selama ini dah egois, gue cuma mikirin perasaan gue doang. Gue ngajak lo ke kondangannya si Robi juga cuma karena gue gak pengen direndahin sama dia. Lagian gue aja gak pernah perhatiin lo gimana-gimana, gue selalu aja maksa lo buat nurutin semua kemauan gue," lanjutnya dengan wajah nampak bersalah.

Aku terpana melihat Erina yang seketika dengan tulusnya meminta maaf, padahal aku yang salah. Seharusnya dia langsung marah-marah sambil melontarkan kata-kata kasar padaku seperti biasa. Aneh.

Sekarang ia malah sibuk menyalahkan dirinya sendiri. Ya, mungkin sebagai lelaki aku sudah melupakan satu hal penting pada seorang wanita. Bahwa cepat atau lambat, suatu saat mereka pasti akan mengalami perubahan yang besar pada dirinya.

"Lihatlah! Erina kecilmu sekarang sudah menjelma menjadi sosok gadis yang sangat cantik. Apa kau tak sadar? Ia bahkan sudah mulai berubah, ia sudah mengenal cinta. Masih tak sadar? Sejak kecil kau berada di sampingnya tapi baru sekarang kau menyadari bahwa dia sudah benar-benar menjadi seorang wanita yang berbeda." Bisik hati kecilku.

***

Ini waktu yang sering kutunggu. Tampak sinar mentari hangat-lembut yang menerpa dedaunan pepohonan yang bersusun, juga bunga-bunga yang terawat, anak-anak berlarian, orang-orang terlihat bahagia dengan suasana.

Ada juga kakek yang tersenyum di kursi roda bersama cucunya, lelaki gendut makan es ... Batu, Anak kecil yang main lompat tai, sampai Erina yang duduk di sampingku.

Sore hari, sebelum akhirnya besok pentas pembalasan itu dimulai, aku dan Erina sudah berada di sebuah taman tempat biasa kami berbagi cerita, juga tempat dimana kami pernah bermandikan hujan larut malam sampai jatuh sakit, hampir jatuh cinta.

Di taman ini, helai demi helai dedaunan kering masih saja berjatuhan seolah tak mengenal waktu. Tiba-tiba Erina merangkul tanganku, menyandarkan serta pipinya dan perasaannya. Ia nampak merasa nyaman.

Erina mulai bercerita banyak hal. Tentang masa kecil kami, tentang ayahku, bahkan juga tentang Tupperware ibunya yang hilang. Masih banyak lagi.

Sejak itu aku mulai mengutarakan semua perasaan yang kusembunyikan, bahkan bercerita tentang Yunia yang pernah melengkapi kekosongan di hidupku. Sejak itu kami menyadari bahwa kami memang senasib.

"Win."

"Hmh."

"Liat gak orang yang pacaran di pojok sana? Deket air mancur itu."

"Iya, kenapa?"

"Kok mirip kita ya?"

Kata-kata itu entah kenapa seketika membuatku merasakan hal yang aneh. Tanpa kusadari jemari lembutnya sudah menyentuh pipiku. Tapi tidak se bringas Yunia. Ia hanya menyentuhnya dengan ujung jemari sampai mencubit pelan.

"Erina, lo tau gak."

"Hmh?"

"Menurut lo, gue orangnya gimana?"

"Entah. Tapi belakangan ini lo mulai berubah."

"Brubah gimana?"

"Menurut gue ... Lo sekarang lebih perhatian, lembut, suka senyum, suka nanyain kabar, suka becanda. Coba yang dulu, sukanya masang muka tembok, cuek, gak peka, boro-boro nanyain kabar, dateng ke rumah malah nagih utang."

"Lo sekarang juga berubah banyak kok, Rin."

"Masa sih?"

"Iya."

"Apanya?"

"Udah bisa perhatiin aku sampe segitunya" Plak! Pukulan lembut jemarinya mendarat di pipiku.

Sore itu, bersama kehangatan taman, kami telah melupakan masa-masa pahit tentang cinta yang gagal, mencoba kembali membalut kekosongan dengan saling melengkapi, saling mendukung, dan saling berbagi.

Dan saat itu pula, seorang wanita mendekat. Ia mengenakan kaos putih yang dibalut jaket tipis warna ungu. Rambutnya menjuntai panjang-hitam legam. Matanya coklat bening, kulitnya putih mulus terurus.

"Yunia!?"

Bersambung ...

Partner Hati (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang