Cerita serupa dalam POV Erina bisa kalian cek di Dwrite9 dengan judul yang sama. Selamat membaca!
"Jika kamu mencoba meninggalkan pasangan yang tulus berusaha mencintaimu karena bosan, kelak kamu akan bosan tanpanya."
***
Aku masih menatap Yunia hingga tersadar bahwa Erina sudah tidak di sampingku. Kakiku spontan melangkah tanpa disuruh, takut kalau si cebol itu kenapa-napa.
"Tunggu!"
Jemari lentik Yunia cepat meraih lenganku lantas menariknya. Entah kenapa tiba-tiba aku pasrah mengikuti setelah melihat wajah cantiknya yang nampak memelas.
Aku diseret keluar dari tempat resepsi, berhenti tepat di suatu lorong yang sepi. Ia mendorong hingga membuat tubuhku tersandar di tembok. Kedua telapak tangannya menempel di dadaku, kami bertatapan. Dari sini matanya terlihat lebih manis, bahkan bibirnya yang lembab merah jambu sangat menggoda.
Entah apa yang ada di pikiran Yunia, kali ini jemarinya yang lentik mencoba bermain mesra di pipiku, lalu membelainya dengan lembut. Begitu lembut seolah membuatku kembali merasakan masa lalu. Aku terbawa suasana.
Kakinya lantas berjinjit pelan-pelan. Wajahnya semakin dekat dengan wajahku sampai aku dapat mendengar hembusan napasnya yang sudah tak beraturan. Dadaku seketika saja berdetak kencang, darah mendesir di dalam nadi. Yunia sukses memikat hatiku.
Ia terus mendekatkan wajahnya perlahan hingga tinggal jarak beberapa senti saja dengan wajahku, matanya lantas terpejam. Aku seketika dapat menyentuh dan merasakan hangat dan kenyal bibirnya ... di telapak tanganku.
Huh! Aku menghela napas panjang. Hampir saja. Andai tanganku tak cepat mendekap mulutnya. Entah apa yang akan akan terjadi.
Untung tadi aku teringat Erina. Jika tidak pasti aku sudah menyesal sekarang. Lantas kudorong wanita tak waras itu kuat-kuat hingga terjatuh. Ia merintih saat tubuh mulusnya menghujam lantai.
"Win, tega kamu ya. Win, dengerin aku Win ... Win!"
Aku berlalu tanpa mempedulikannya, hanya saja hatiku mulai tak nyaman, sepertinya Erina sedang kesal menungguku. Cepat langkah kaki kuarak kembali menuju ballroom.
Benar saja, sesuatu telah terjadi. Para penonton menertawakan seseorang. Ya, kulihat cebol itu turun dari panggung dengan gaun dan wajahnya yang basah. Bedak, celak juga dandanannya yang cetar membahana badai petir halilintar runtuh seketika. Wajahnya nampak seperti jomblo melarat sampai tua. Lalu gaunnya, lah? Sobek!
Aku hampir ikut tertawa, tapi kembali tak tega saat kilihat perlahan air mata mengalir di pipinya. Ini pasti ulah si Robi ter-lucnut itu.
Aku memang peduli dengan Erina, tapi sekarang kebencianku pada Robi sudah pada puncaknya. Aku terpaksa membiarkan Erina yang berjalan melewatiku dengan hati yang remuk.
Siasat melumpuhkan! Akan kupermalukan bajingan dan wanita jalang sialan itu. Cepat kunaiki panggung, meraih microphone. Ngik, duk duk! Tanganku memastikan masih berfungsi. Sang MC gemulai itu terkaget-kaget dengan tatapan ngeri melihat tubuhku yang kekar.
"Sebelumnya saya ucapkan selamat kepada kedua mempelai dan terimakasih untuk pacar saya yang baru saja menuruni panggung." Erina terhenti, berpaling dengan tatapan yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Bingung, kaget, senang, kecewa, semua bercampur dalam satu kata; pacar!
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner Hati (Selesai)
Short StoryErina yang humoris bersanding dengan Win si muka tembok yang hidupnya tanpa disadari sangat dramatis. Mereka dipertemukan dalam satu ruang hati. Mereka sama-sama pernah terluka akibat cinta yang gagal. Lalu perasaan di antara keduanya kembali muncul...