Erina dan Yunia

104 15 0
                                    

Cerita serupa dalam POV Erina bisa kalian cek di Dwrite9 dengan judul yang sama. Selamat membaca!


"Erina, andai kau tahu bahwa cintaku yang tersimpan itu jauh lebih tulus daripada lelaki yang terang-terangan kau cintai, tapi ternyata menyimpan wanita lain di belakangnya."

***

Rembulan nampak cukup terang menerangi permukaan bumi meskipun tidak sampai menerangi permukaan hatiku yang masih gelap-pekat. Malam yang hitam dan suhu yang semakin sejuk karena sudah larut malam telah lama membuatku terlelap.

Sayup terdengar ponsel berbunyi, lama-lama terdengar makin jelas serasi kesadaranku yang perlahan kembali. Tanganku yang terasa masih berat, malas, tetap berusaha mengangkat meski mataku lengket masih terpejam.

Oh, ternyata Erina, gadis cantik yang baru saja kumimpikan. Rupanya dia minta diantar ke kondangan si brengsek Robi besok. Klik! Telpon kumatikan sembari menghembuskan napas panjang, berpikir.

Erina, apa kau sudah gila. Aku tahu kau tak hanya ingin aku menemanimu ke pesta pernikahannya Robi, tapi pasti ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang kau rencanakan dan entah apa.

Aku kembali tak bisa tidur hanya karena memikirkanmu. Memikirkan perasaanmu yang tak kunjung menjadi milikku. Takut kalau-kalau besok terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

Berkunjung ke pesta pernikahan mantan, wanita mana yang tak sakit, sedang setengah hatinya masih kosong bekas ditinggalkan, tak ada seorang pun yang mengisinya.

Andai kita besok pergi sebagai sepasang kekasih, pasti ceritanya akan beda. Ah, aku kembali menghela napas panjang setelah memikirkan sesuatu yang begitu sulit untuk didapatkan.

Kita sudah kenal lama, Erina. Sejak kecil malah. Wajar aku tahu betul bagaimana sifatmu. Mungkin aku kadang terlihat humoris, sesekali menghiburmu dan kembali berwajah datar, itu hanya agar kau menganggap aku telah berubah. Sebenarnya tidak.

Aku masih memendam rasa yang sama. Mungkin ada kalanya seorang lelaki sejati itu terlihat mengacuhkanmu, tapi sebenarnya dia tengah menyimpan rasa yang begitu tulus. Tak perlu mengungkapkannya, karena ketulusan itu akan muncul saat kau membutuhkannya.

Aku berkhayal, berbicara pada plafon yang terlihat seperti Erina. Duh, aku gila sekejab. Serasa tembok ada bayangnya, lihat lantai ada bayangnya, lihat cermin? Hem, tampan juga ternyata.

Drrrrt! Hp-ku bergetar, ada panggilan masuk lagi. Sepertinya  gadis itu memang sudah gila. Ini kan udah larut malam. Aku mengangkatnya cepat.

"Apaan lagi sih, Rin?"
"Rin? Rin siapa?"
"Loh ini siapa?" Celakanya aku langsung mengangkat tanpa melihat siapa yang telpon.

"Ini aku, Win. Yunia," masa lupa sih sama mantan sendiri.

Buset! Aku langsung melempar ponselku seketika. Aku membiarkannya mengoceh sendiri. Siapa juga yang suruh telpon selarut ini. Apalagi dia, mantan.

Aku mengaktifkan mode loudspeaker, tapi tanpa bicara.

"Win, aku tau kok aku salah. Dulu aku dah sia-siain cinta kamu. Aku dah bohongin kamu. Aku nyesel, Win. Aku nyesel. Aku lebih milih dia yang sekarang tega ninggalin aku. Awalnya dia baik, tapi setelahnya dia kasar sama aku, dia sering mukul aku. Aku baru sadar saat itu, Win, kalo cinta yang kamu kasih ke aku itu benar-benar tulus. Tapi walaupun kita udah gak mungkin balikan, please! Aku pengen kita tetep baikan, Win."

Wanita itu mulai terisak. Kian lama tangisannya mampu memecah kesunyian di tiap penjuru kamarku, memenuhi ruang malam yang sepi, begitu memilukan, hatiku terenyuh dibuatnya.

"Aku dah maafin kamu, Nia," kembali kutempelkan benda persegi itu ketelinga.

"Cinta emang gak bisa dipaksakan. Karena jodoh bukan kita yang tentukan.

Meskipun kamu pernah menyukai seseorang di masa kecil, deket sampai sekarang dan masih dengan rasa yang sama. Kamu ungkapin, tapi tiba-tiba dia memilih yang lain. Itu emang menyakitkan.

Tapi kita harus dewasa. Biarkan yang sudah terjadi, gak usah di sesali, yang penting kamu doa biar dapet pasangan yang mampu mendampingimu sampai ke surga, sekali pun itu bukan aku."

Tangisnya sedikit mereda. Nada bicaranya sudah normal, nampaknya wanita itu cepat mengerti.

"Ma, makasih Win. Aku jadi malu sendiri."

"Udah gak papa, semua orang pernah salah kok.'

" Makasih, Win. Ngomong-ngomong kamu besok kerja?"

"Enggak, kenapa?"

"Mau gak, kamu ... Nemenin aku ke pesta pernikahannya Nisa," aku terperanjat seketika, tubuhku merinding dan darahku terasa menjadi ombak yang mendesir di dalam nadi.

"Nisa, Nisa calon istrinya Robi itu?" Tanyaku cepat, coba meyakinkan.
"Iya. Kamu ma ... (Tuut ... Tuut ..)" Telpon kumatikan. Kampret!

Aku cepat membaringkan tubuhku yang lelah, menarik selimut, memejamkan mata, berharap agar cepat tidur. Entah badai apa yang akan melanda pesta pernikahan itu besok, aku tak ingin memikirkannya. Kepalaku serasa berputar.

Sial! Lagi-lagi mataku terbelalak, tak dapat tidur. Kepalaku penuh dengan bayangan-bayangan yang mungkin terjadi di pesta nanti. Rumit-rumit-rumit. Padahal Nia dulu cuma pelampiasanku karena Erina yang sudah jadian dengan Robi.

Tapi lama-lama aku mulai belajar untuk menyayangi dan justru ditinggal pergi. Aku baru sadar kalau nasibku dan Erina begitu mirip. Tapi mantan tetap mantan. Rasanya akan berbeda saat kembali bertatapan. Jomblo dari lahir mah mana tau, eh maapin mblo!

Serta malam itu, bersama kesunyian, rembulan yang mulai menjauh, bintang-bintang dan gelap, aku sempurna tak bisa tidur sampai pagi.

Bersambung ...

Partner Hati (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang