RUANG latihan di ujung koridor lantai tiga seakan menjadi saksi bisu satu jamku bersama Hyunjin setiap hari selama dua bulan belakangan ini.
Aku suka menari, Hyunjin juga; satu-satunya kesamaan di antara kami. Tariannya jauh lebih bagus dariku, padahal aku sudah menari sejak masih ingusan dan ia baru mulai setelah duduk di bangku sekolah menengah.
"One, two, three, four, five, six, seven, eight. Nice, Yeji!"
Kami berhenti dalam posisi Hyunjin merengkuh pinggangku. Aku terengah, menatap pemuda yang sama-sama terlihat lelah dengan keringat bercucuran tepat di hadapan mata. Ia tersenyum, memberiku apresiasi atas usahaku seperti biasa. Padahal hari ini tarianku buruk sekali.
"Good job. Sudah bagus, Yeji, cuma tadi di tengah kamu kurang fokus jadi sering tertinggal hitungan. Lain kali lebih fokus, ya."
Hyunjin melepaskan tangannya dari pinggangku, membuatku agak kecewa. Ia berjalan ke sofa di sudut ruang latihan, mengambil botol air mineral dari tasnya dan langsung menenggaknya sampai habis.
"Maaf," ucapku, merasa bersalah. Hyunjin sudah berbaik hati meluangkan waktunya untuk mengajariku, tetapi tarianku tidak semakin baik.
"It's okay. Santai saja," sahutnya enteng. "Lombanya tiga minggu lagi, kan? Masih ada waktu untuk berlatih."
Aku mengangguk. Hyunjin mengucapkannya seolah itu adalah hal yang mudah.
Sebenarnya tidak. Sejak kecil, mau berapa kali pun aku pernah ikut lomba, panggung selalu menjadi satu hal yang menakutkan bagiku. Mungkin itulah sebabnya aku lebih sering kalah daripada menang.
Aku lebih suka menari dengan bebas. Seperti burung yang terbang di atas samudera, atau kupu-kupu di kebun bunga, atau ikan berenang di laut bebas, atau Hwang Hyunjin di mana pun ia berada.
Terkadang aku mengira-ngira, bagaimana jadinya kalau aku menari bersama Hyunjin? Apakah aku masih gugup seperti biasanya? Bisa jadi tidak, karena presensi Hyunjin itu seperti perapian yang menyalurkan hangat ke seluruh penghuni rumah ketika badai salju berkecamuk di luar sana. Begitu menenangkan hingga aku sering lupa bagaimana rasanya cemas.
"Duluan, ya! Aku sudah ditunggu Ryujin." Hyunjin melambaikan tangan padaku, senyumnya lebar sekali seolah yang tengah menantinya adalah gadis paling cantik seantero sekolah.
Dan memang iya. Siapa yang tidak kenal Shin Ryujin, bidadari sekolah? Aku harusnya bersyukur ia tidak melabrakku karena meminjam pacarnya untuk mengajariku tari modern selama tiga bulan. Ryujin gadis baik.
"Oh, iya. Terima kasih, Hyunjin."
Hyunjin berlalu dan sepi kembali menghampiri. Hatiku, lebih tepatnya. Sebanyak apa pun waktu yang kuhabiskan dengan pemuda Hwang itu, atau mau kami punya seribu cerita serta rahasia pun, aku dan Hyunjin tidak akan pernah menjadi kami.
Aku menghela nafas pelan, membereskan barang-barangku dan memasukannya ke dalam tas. Sebelum keluar ruangan, netraku sempat menangkap jam dinding yang menunjuk pukul empat kurang tujuh menit.
Belum pukul empat dan Hyunjin sudah pergi. Padahal ada yang ingin kukatakan padanya dan tujuh menit adalah waktu yang sangat cukup.
Selalu ada yang ingin kukatakan pada Hyunjin. Entah apa itu, pokoknya ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
FALLEN PETALS
Fanfiction❝Aku adalah satu dari banyak kelopak bunga yang berjatuhan.❞ [ HYUNJIN, YEJI ] a fanfiction © shoeebill, 2019