07 | of one cold day and memories

612 114 38
                                    

Desember, tiga tahun lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Desember, tiga tahun lalu.

UDARANYA sedingin hatiku, tetapi salju masih malu-malu menghampiri Seoul.

Aku merapatkan mantel, menepis angin dingin yang hendak buatku beku. Netraku mengamati kendaraan yang berlalu lalang di jalanan dari halte bus. Orang-orang di sekitarku sudah berganti berkali-kali sejak tadi pagi, tetapi aku masih bertahan di sini. Duduk manis seperti anak kecil yang tengah menanti datangnya Santa.

Aku punya masalah. Bukan dengan siapa-siapa, hanya diriku sendiri.

Terlalu banyak berpikir, kata mereka yang mengaku teman dan keluargaku.

Bukan salah mereka aku kecewa. Memang harapku saja terlalu tinggi. Minta ditenangkan, minta selalu ditemani. Berharap agar dunia selalu berotasi hanya ke arahku.

Hari sudah sore ketika aku berdiri dari tempat duduk dan mulai melangkahkan kakiku yang nyaris mati rasa karena terlalu lama diam di tengah udara dingin.

Aku ingin pulang.

Bersama beberapa pejalan kaki lain, aku berhenti di tepi jalan, menunggu rambu-rambu pertanda kami boleh menyeberang menyala.

Ting!

Satu langkah. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh dan aku tepat di tengah jalan.

Ini cara tercepat, bukan? pikirku.

Orang-orang terlalu buru-buru berjalan. Tidak ada yang memedulikan gadis sekolah menengah yang enggan beranjak lagi kendati rambu-rambu sudah berubah dan kendaraan mulai berjalan kembali.

Suara klakson memekakkan telinga. Sumpah serapah yang ditujukan kepadaku terdengar seperti nyanyian yang liriknya semakin membuatku yakin bahwa aku harus segera mengakhiri segalanya.

Kemudian, tiba-tiba saja, semuanya gelap. Kupikir aku diculik kematian karena tubuhku ditarik dengan keras sekali. Ternyata ia penyelamatku yang hadir nyaris terlambat. Hwang Hyunjin, cinta terakhirku.



Desember, tahun ini.

AKU duduk di halte yang sama. Kali ini salju sudah turun dan jingle-jingle natal terdengar dari barisan toko di pinggir jalan. Suasananya benar-benar bersahabat, tetapi hati dan pikiranku tidak.

Memori tahun ini memenuhi benak, terputar berulang-ulang seperti film dokumenter lawas berwarna monokrom. Memang ada beberapa bagian yang berwarna-warni, seperti ketika aku dan Hyunjin menghabiskan sore bersama di taman belakang sekolah dan tiap kali kami latihan menari.

Tetapi selebihnya, jangan harap.

Aku kalah dalam lomba tari modern dan ujianku kacau. Hubunganku dengan orang-orang di sekitarku kurang baik, sembilan puluh persen karena aku terlalu sensitif. Yang paling kusesali adalah Hyunjin. Seharusnya aku tidak mengungkapkan perasaanku padanya ketika ia masih memiliki Ryujin.

Seharusnya aku tidak egois. Hyunjin sudah menyelamatkanku sekali, maka tidak tahu diri namanya jika aku meminta lagi. Duniaku berotasi hanya ke arahnya sejak kejadian tiga tahun lalu, dan aku egois karena berharap dunianya berotasi ke arahku pula. Ia punya kehidupan sendiri, yang baik-baik saja, dan aku ibarat sebuah kerikil tajam yang menghalangi jalan mulusnya; perlu sekali untuk disingkirkan jauh-jauh.

Hari sudah sore ketika aku berdiri dari tempat duduk dan mulai melangkahkan kakiku. Seperti tiga tahun lalu. Menyeberang jalan, menunggu malaikat menjemput.

Aku ingin pulang. Kali ini serius. Jangan ada lagi yang menyelamatkanku atau hatiku bisa semakin kacau.

Suara klakson memekakkan telinga. Sumpah serapah yang ditujukan kepadaku terdengar seperti nyanyian yang liriknya semakin membuatku yakin bahwa aku harus segera mengakhiri segalanya. Persis seperti dulu.

Kemudian, tiba-tiba saja, semuanya gelap. Kupikir penyelamat datang.


finish;

maybe?

FALLEN PETALSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang