HARI ini, aku kembali menghitung bebungaan yang jatuh, meskipun tidak sampai hitungan ke-sepuluh selalu sudah lupa lagi dan harus mengulang dari awal.
Pikiranku kacau seperti biasa. Besok ujian dimulai dan aku masih menghindar dari segala jenis rumus matematika yang semestinya sudah di luar kepala.
“Yeji ngga pulang?”
Hyunjin lagi. Kali ini tangannya memegang sekarton susu rasa vanilla, bukan sekaleng soda seperti beberapa hari yang lalu. Pertanda suasana hatinya sedang tidak terlalu baik.
“Nanti,” jawabku.
“Naik apa?”
“Jalan kaki.”
“Oh..”
Lima menit tanpa kata di antara kami berlalu begitu saja, terbuang sia-sia karena seharusnya aku bisa mengajaknya bicara lebih jauh tentang jutaan hal di dunia ini yang akan memaksa kami untuk menghabiskan waktu lebih lama bersama. Kalau bisa sampai tengah malam supaya aku dapat tidur nyenyak ditemani ocehan Hyunjin tentang jenis-jenis bunga, atau lumut, atau batu. Ia cerdas, mau cerita tentang apa pun juga dia pasti bisa.
Hyunjin berjongkok di sebelahku, ikut menghitung kelopak bunga yang jatuh. Sekarang ia lebih handal dari tempo hari, meskipun belum sampai hitungan lima puluh dia sudah pusing duluan.
Mungkin ia berlatih di rumah, menghitung bintang di langit temaram atau domba di lukisan menyedihkan setiap pemuda itu kesulitan terlelap. Aku tidak tahu pasti. Aku hanya sok tahu.
Sang surya semakin beranjak turun, hendak pulang ke rumah setelah hari panjang yang membuat lelah.
“Kamu sendiri kenapa belum pulang?” tanyaku memecah keheningan.
“Hmm, panjang ceritanya.”
“Sepanjang apa?”
“Ngga lebih panjang dari kereta api, sih.”
“Oh, syukur, deh. Kalau begitu aku bersedia dengar ceritamu.”
Hyunjin terkekeh. Entah bagian mana yang lucu. Padahal kalau aku bilang bersedia, itu artinya aku benar-benar bersedia.
“Ya sudah. Kalau gitu, berhenti hitung bunganya. Dengerin aku.”
Hatiku melonjak kesenangan. Aku menghentikan hitunganku dan menoleh ke arah Hyunjin, bersiap mendengarkan ceritanya dengan antusias. Posisi kami masih berjongkok dan pasti terlihat aneh sekali saat ini. Masa bodoh.
“Aku belum pulang karena tadi nungguin seseorang.”
“Siapa?”
Pasti Ryujin.
“Ryujin.”
“Oh, lalu?”
“Ponselku mati, jadi aku ngga tahu kalau dia udah pulang dijemput mamanya karena ada acara keluarga mendadak. Tadi aku dikasih tahu Felix karena Ryujin telepon, tanya aku di mana, dan dia nitip pesan lewat Felix.”
“Oh, kasihan. Aku boleh tebak?”
Hyunjin mengangkat alisnya dengan jenaka.
“Kamu kesal karena udah nunggu lama, ditambah fakta kalau Ryujin ngehubungin Felix untuk tanya eksistensi kamu, bukannya kakak kelas yang cewek. Terus kamu beli susu karena haus dan ke taman ini untuk berkontemplasi sebentar. Tapi kamu malah ketemu sama aku lagi yang kurang kerjaan ngehitung bunga, bukannya belajar matematika buat besok.”
“Matematika, kan, hitungan. Kamu lagi ngehitung bunga, itu artinya kamu lagi belajar,” timpal Hyunjin.
Kami berdua tertawa; kupu-kupu di perutku juga. Manisnya melebihi rasa rambut nenek yang kubeli di taman bermain hingga aku tidak sadar jika semburat oranye kemerahan sudah mendominasi langit saat ini, menambah indah latar dari sosok Hyunjin yang kusuka.
“Sudah mau malam. Pulang?” ujar Hyunjin. Entah apa maksudnya, menawariku atau sekadar bertanya basa-basi lantaran ia sudah bosan berbincang denganku.
“Kamu duluan saja,” ucapku.
“Gelap. Mana kelihatan kalau kamu masih menghitung bunga? Ayo, pulang aja. Kuantar kamu sampai rumah.”
Hyunjin bangkit berdiri, lantas mengulurkan tangannya yang hangat kepadaku. Mengajakku pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
FALLEN PETALS
Fanfic❝Aku adalah satu dari banyak kelopak bunga yang berjatuhan.❞ [ HYUNJIN, YEJI ] a fanfiction © shoeebill, 2019