11. Miss Hera

129 5 0
                                    

Meyana berdebat dengan pikirannya selama setengah detik sebelum dia berubah pikiran.

Meskipun dia suka saat dia membuat Alga cemburu dan gila, dan Roy nampaknya adalah tombolnya, tapi Meyana memilih untuk tidak melakukannya.

Malam ini adalah pertandingan pertama musim ini, dan dia tidak membutuhkan dirinya untuk menambah stresnya.

Tidak peduli seberapa besar keinginannya untuk pergi ke sana sebagai bentuk protes terhadap Miss Hera yang duduk di mejanya, Meyana yang bijak menahan diri.

Bukankah ada buku sejarah berusia tiga puluh tahun yang harus dia rangkum atau semacamnya?

Berjalan ke depan kelas, dia duduk di kursi tepat di depan mereka, menjatuhkan tasnya ke lantai.

Sekarang dia bisa mendengar semua yang mereka katakan. Miss Hera menatapnya dengan tatapan kesal, seolah dia juga menyadari hal ini, tapi dia segera menutupinya.

Dia membungkuk dekat dengan Alga, dan saat itulah Meyana menyadari kesalahannya. Karena sekarang Miss Hera hanya perlu mendekat pada Alga untuk berbisik.  Meyana tidak bisa berbuat apa-apa selain menatapnya.

Miss Hera yang terkenal. Dan yang  dimaksud dengan 'terkenal' adalah semua laki-laki telah membicarakannya.

Dia mengajar sejarah kelas sembilan dan menjalankan regu pemandu sorak untuk tim sepak bola universitas. Hari ini adalah hari pertandingan, jadi para pemandu sorak mengenakan seragam mereka, semua pemain memakai kaus mereka, dan semua guru dan siswa mengenakan 'baju dinas', sesuatu yang belum pernah Meyana ikuti. Dia bahkan belum pernah menonton pertandingan sepakbola apapun.

Tinggal di Jakarta, orang-orang sangat memuja sepak bola dan basket; sesuatu yang Meyana masih tidak mengerti.

Seperti orang lain, Miss Hera berdandan lengkap untuk hari pertandingan. Dia memiliki rambut hitamnya yang dikuncir kuda tinggi dengan pita biru dan putih. Celana jeans-nya pas untuknya hampir seperti kulit kedua.

Kemeja sekolahnya memiliki huruf V dalam di bagian depan, dan semakin dia membungkuk ke arah Alga, payudaranya semakin terlihat.

Meyana menoleh ke arah Alga dan melihat matanya terpaku padanya, tidak menaruh perhatian pada Miss Hera.

"Pak Alga," kata Miss Hera lebih keras, membuatnya kembali menatapnya.

Meyana menggigit bagian dalam mulutku.

“Kami benar-benar membutuhkan bantuanmu pada hari Sabtu. Setelah itu semua orang keluar, dan kamu dipersilakan untuk bergabung dengan kami. Kamu dapat bertemu dengan staf lainnya. Aku yakin kami akan merayakan kemenangan kalian.”

“Sepertinya aku nggak bisa, Miss Hera. Aku akan pindah akhir pekan ini.”

Suaranya meremehkan, dan itu membuat perut Meyana menghangat. Biasanya, cewek seperti dia bisa mendapatkan semua cowok, tapi entah kenapa Alga menginginkan dirinya.

Perhatian yang Alga berikan padanya belum pernah dia dapat dari lawan jenis manapun.

Tapi sejujurnya, dia tidak terlalu mendambakan Alga sampai dia bertemu dengannya. Alga berbeda. Dia mengetahuinya sejak dia bertemu dengannya.

Mama selalu memberitahunya kalau mereka bertemu, dia akan mengetahuinya, dan Mama benar.

Melihatnya dan merasakannya untuk pertama kali, rasanya dia menjadi hidup. Dan seperti kebanyakan hal yang Meyana inginkan dalam hidup, dia melakukannya.

Ketika dia memutuskan sesuatu, itu sudah final dan tidak ada yang bisa menghalanginya. Itulah yang selama ini dia lakukan bersama Alga, tapi terkadang dia telah menggigit lebih banyak daripada yang bisa dikunyah.

Dia tahu ini bisa berakhir buruk, dan mungkin waktunya tidak tepat, tapi dia juga tahu bahwa dia butuh sesuatu seperti ini, sesuatu yang sulit, cepat, dan membutuhkan kesabaran, untuk mengubah hidupnya.

“Bagaimana kalau kamu datang pada Sabtu malam, dan aku akan datang pada hari Minggu dan membantumu.”

Miss Hera mencondongkan tubuh lebih dekat ke Alga, dan Meyana mendengarnya berkata dengan nada pelan, "Atau aku bisa menginap Sabtu malam saja, dan aku akan berada di sana besok pagi untuk membantumu."

"Mey!"

Meyana terlonjak saat Roy menyebut namanya dan itu membuatnya menjauh dan tidak bisa mendengar jawaban Alga.

Dia tidak menoleh ke arah Roy, karena dia duduk di belakangnya. Meyana bisa merasakan Roy mencondongkan tubuh lebih dekat ke arahnya, dan itu membuatnya merasa ngeri.

“Ya, Roy,” katanya sambil mengeluarkan buku catatannya dari tas, berusaha untuk tidak menatap Miss Hera dan Alga. Dia tidak ingin melihatnya menggodanya, karena Meyana tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa.

“Elo berubah pikiran dan memutuskan nggak ikut berdansa sama gue? Hancur hati gue saat elo membatalkannya, Mey.”

Sulit untuk menahan dengusan yang ingin Meyana keluarkan.

Pertama, bukan dirinya yang membatalkannya, melainkan Alga. Dia mengambil ponselnya dan mengirim SMS ke Roy. Dia bahkan tidak tahu apa yang Alga katakan karena dia menghapus SMS dan memblokir nomornya.

Meyana dan Roy bersekolah bersama sejak SMP, dan sepertinya Roy belum pernah mengajaknya berbicara dengan dirinya seumur hidupnya hingga tahun ini. Pasti karena payudara ini.

Meyana melirik bajunya dan melihat payudaranya tertekan. Dia benar-benar perlu mendapatkan bra dan baju dengan ukuran yang lebih besar. Dia tidak menyangka hal ini akan terjadi pada musim panas. Pertumbuhannya terlambat mekar.

“Hmm…”

Meyana kesulitan menemukan kata-katanya. Dia tidak terlalu suka berbicara dengan cowok. Alga adalah pengecualian, tapi Alga jelas bukan cowok. Dia seorang laki-laki.

Roy mencabut salah satu pensil dari rambutnya, membuat rambutnya rontok, mengenai bahunya. Meyana kesal, dan dia ingin mengatakan sesuatu, tapi untungnya dia terhindar dari keharusan menjawabnya.

“Roy, kenapa kamu nggak pergi ke kantorku dan menonton rekaman pertandingan itu? Aku sudah menyiapkannya di mejaku.”

Meyana mendongak dan melihat Alga memelototi mereka. Kenapa dia marah? Dia tidak bisa mengontrol di mana Roy memilih untuk duduk. Ini ruang belajar yang luas. Para senior datang dan pergi sesuka mereka.

Tapi Meyana senang Alga merasakan percikan kecemburuan yang dia rasakan saat ini.

Bangkit dari tempat duduknya, Roy menarik sehelai rambutnyq, membuat Meyana menatapnya.

“Elo dateng malam ini?” dia bertanya, dan Meyana tahu dia sedang membicarakan permainan itu. Dia hanya menganggukkan kepala.

"Tunggu gue setelahnya dan kita akan bicara.” Dia berhenti sejenak, lalu membungkuk sehingga dia bisa menatap matanya. “Karena elo nggak mau membalas SMS gue.”

Coach (18+) EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang