“Tanganku, sudah kupatahkan untukmu. Kakiku, sudah kupatahkan juga untukmu. Tapi, haruskah hatiku kau patahkan juga?”
Sesampainya di rumah, Hana langsung menuju kamarnya. Fisik, mental dan hati Hana sudah sangat lelah. Ia ingin cepat-cepat memanjakan dirinya dengan mandi air hangat dan tempat tidur empuknya. Sialnya lagi, kakinya juga tidak bisa ia ajak bekerja sama. Entah kenapa kaki kanannya semakin nyeri. Jangankan bisa cepat sampai kamar, berjalan saja ia harus bersusah payah seperti itu.
Sebelumnya Hana sempat tertidur di dalam mobil. Nia ―mama Hana― sudah membangunkannya, tetapi Hana tidak bangun-bangun juga. Nia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Hana yang masih tertidur pulas dan masuk ke dalam rumah lebih dahulu.
Di ruang tengah, Hana mendapati ayahnya ―Danang― sedang khusyuk menonton berita di televisi. Ia ingin menyapa Danang, tapi tidak ingin mengganggunya.
"Kenapa itu kaki kamu?" Tanya Danang ketika mata tajamnya mendapati Hana.
Hana hanya cengar-cengir. "Eh, Ayah, udah pulang, Yah?" Ucap Hana basa-basi. Kebetulan Danang adalah seorang dokter. Tidak biasanya ia pulang cepat. Hampir setiap hari ia selalu pulang malam. Bahkan, bisa saja tidak pulang kalau lagi banyak pekerjaan.
"Jawab pertanyaan Ayah! Jangan cengengesan kamu!"
"Siap!!" Hana memberi hormat layaknya anak buah terhadap bosnya. "Tadi jatuh di jalan. Hehehe..." Lanjutnya dengan kekehan.
"Ke sini kamu!" Perintah Danang, lalu bangkit dari duduknya dan pergi ke dapur. Mau tidak mau Hana berjalan ke arah Danang. Perintah Danang adalah mutlak. Jika tidak menurut, hukuman tak akan segan-segan menghantuinya.
Hana mendudukkan pantatnya pada sofa berwarna marun. Danang datang kembali dengan baskom dan kotak P3K yang ia bawa di tangan kanan dan kirinya, lalu ia duduk tepat di samping Hana. Danang menunjuk kaki kanan Hana dengan telunjuknya, mengisyaratkan kepada Hana untuk menaikkan kakinya ke atas sofa. Kemudian ia mengambil es batu yang berada di baskom itu dan membalutnya dengan handuk kecil, lalu menempelkan handuk itu ke sisi pinggir bagian yang bengkak.
Setelah mengompres kaki Hana, Danang membuka kotak P3K yang dibawanya tadi dan mengambil obat berbentuk tube, lalu ia oleskan obat krim penghilang nyeri itu ke pergelangan kaki kanan Hana. Hana yang merasakan nyeri hanya bisa meringis histeris dan memukul-mukul sofa. Selesai mengoles krim pereda nyeri, kaki Hana kemudian dibalut dengan perban untuk menghentikan pembengkakannya.
"Oh ya, Yah, ada obat buat lecet juga nggak?" Tanya Hana sambil mencari-cari obat lecet di kotak P3K.
Danang menatap Hana terkejut lalu mengeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu itu habis ngapain sih, jatuh apa berantem?"
"Ya kali aku berantem, Yah. Yang ada juga lawanku kalah duluan." Jawabnya sombong.
Tak merespons lagi ucapan Hana, Danang mengambil obat berbentuk botol kecil yang sempat tersentuh oleh Hana tadi. Ia langsung membuka tutup obat itu dan menuangkannya pada kapas bersih. "Tangan kamu udah dibersihkan belum?" Tanya Danang.
"Udah kok."
"Sini tangan kamu!" Hana mengulurkan tangannya ke depan Danang. Danang memperhatikan luka lecet pada tangan Hana dengan serius. Apakah benar sudah bersih atau belum. Sebab jika tidak dibersihkan dengan benar, akan menyebabkan infeksi dan berakibat fatal nantinya.
Melihat luka pada tangan Hana sudah benar-benar bersih, Danang menempelkan kapas yang telah diberikan cairan desinfektan perlahan-lahan ke sekitar luka lecet itu. Selesainya, Danang membereskan kembali obat dan barang yang ia gunakan untuk mengobati Hana tadi dan meletakkannya kembali ke tempat semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable
Roman pour AdolescentsBudayakan untuk membaca dari pada boomvote. Okey! °°° "Bisa nggak sih lo berhenti ganggu gue?" ―Hana Octavira― "Awas, nanti kangen sama gue." ...