dua

13 2 0
                                    


HAZEL telah mempersiapkan segala keperluan termasuk penampilannya agar terlihat lebih menarik dibanding tahun-tahun yang lalu. Rambutnya dipotong sebahu, tergerai lurus, semuanya terasa pas kecuali berhadapan dengan pria itu, nanti, entah kapan, mungkin hari ini? Atau besok atau lusa atau tidak keduanya.

"Masih suka sama Junot?" Steve menyikut Hazel. "Tapi kasihan nggak direspon." tambahnya dengan nada mengejek.

Hazel mendengus, "Mau tahu terus." lalu melanjutkan,"Lihat saja nanti," Hazel menghentakkan kakinya di atas pasir.

"Hey, kalian ngapain masih disana," Jacqueline—Ibu mereka, menyambut keduanya. "Sudah, ayo." Mereka berjalan bersama sampai Jacqueline mengatakan,

"Hazel, apa benar kamu masih suka dengan Junot? Dari pertama kali kalian bertemu, itu sudah lama sekali." Hazel berhenti melangkah.

Hazel menoleh, "Kukira kamu suka dengan Ethan," tambah Jacqueline.

"WHAT? Ethan teman sekelasku?" Steve berseru hingga suaranya seperti seorang perempuan yang menjerit ketakutan.

"Dia sering datang ke rumah kita, alasannya ingin bertemu denganmu, Steve. Tapi gerak-gerik matanya selalu menuju Hazel." goda Jacqueline, melirik Hazel.

Dahi Steve berkerut, "Hah? Sungguh? Aku tidak tahu," telunjuknya menunjuk dadanya.

"Karena kamu tidak memperhatikannya, wajar saja tidak tahu."

"Yang benar saja." Steve berdecak, dia mengambil majalah namun tidak jadi membacanya, justru melemparnya, "Ada hubungan apa antara kamu dan Ethan?" suaranya mengangetkan Hazel.

"Tidak ada." ucap Hazel, singkat.

"Kalian terlihat akrab, maksudku, Ethan sering mengajakmu mengobrol," Jacqueline menambahkah kalimat yang membuat Hazel menghela napas.

"Please, Mom. Just because two people look closer, it doesn't mean there's anything going on them." tutur Hazel, menatap Jacqueline intens.

Dia pun bertambah serius,"Jadi jangan pernah membahas itu lagi, seperti ada sesuatu yang benar-benar terjadi."

Jacqueline mengerti, "Baiklah," dan, "Lupakan." Dia mengalihkan topik bicara, "Ini sudah siap, menarik."

Steve tipe orang yang gigih, sehingga dia bertanya lagi, "Hazel, benar nggak ada hubungan apa-apa di antara kalian berdua? Like... Something... Special?"

Hazel menatap Steve, kesal, lalu berucap, "NO."

"Nothing." Hazel berseru, dia berlalu.

Steve berdiri, mengikuti adiknya, "Hey, you, Hazel, you can't say 'no and nothing without explaining something like that. No, what? What is it?"

"Steve, stop it. I'm done. Okay."

Hazel menaiki tangga rumah itu, lalu berbelok. Kamar bernuansa pink dan putih, dimana dia dan Veronica menghabiskan waktu bersama dari bercerita mengenai apapun itu (masih topik remaja), menonton film, bernyanyi, hingga berteriak saat Steve tiba-tiba membuka pintu tanpa mengetuknya dahulu. Ketika itu mereka sedang menonton film Horror sehingga mengira ada hantu yang muncul dari balik pintu. Itu konyol, mereka tertawa.

Hazel mengambil sebuah pigura berisikan foto dirinya di atas meja belajarnya bersama Steve serta Veronica dan Junot. Dia memandangi foto itu lamat-lamat, terutama pria idamannya, sejak pertama kali dia bertemu Junot, dia sudah langsung tertarik pada pria itu dalam satu detik. Dan hanya butuh waktu kurang dari lima detik untuk jatuh cinta pada Junot, Ini berlaku bagi siapapun yang melihatnya.

Pria itu tidak cukup populer seperti kebanyakan remaja pria umumnya di sekolah namun Junot sangat dikenal oleh hati, otak, dan pikirannya, setiap saat jantungnya berdetak tidak karuan melihat kehadiran Junot sekalipun dari jarak yang cukup jauh sekalipun tetapi dia menyukai segala respon dirinya terhadap Junot.

Hazel kembali tersadar, Handphone-nya berdering, dia melihat nama penelpon tersebut, Veronica, sahabatnya pasti telah menunggunya. Hazel mengangkatnya, dia menuruni tangga, seketika dia penasaran sedang apa mereka sekarang. Terutama terhadap pria itu.

"Halo, Vero?," ujar Hazel, menyapa, memastikan.

"Hey, Hazel, oh my god, aku sangat merindukanmu." balas Veronica hangat.

Hazel tersenyum, sahabatnya selalu tahu membuat mood-nya membaik, "I miss you so bad, aku tidak sabar bertemu denganmu."

"You know, Hazelnut, Emily juga sangat merindukanmu," ucapnya sambil tersenyum di ujung telpon.

"I miss you, all, so much." balas Hazel penuh perasaan.

"Miss Junot too, right?" goda Veronica, dia tersenyum nakal di balik telpon.

          Hazel hanya diam namun kepalanya mengangguk, dan hatinya membenarkan itu.

"Hazel.." panggil Veronica, lebih serius, di ujung sambungan.

Hazel terdiam. Veronica menghela napas lalu berkata, "Kamu terus semangat,"

"Sebelumnya aku belum pernah mendengar Junot membicarakan seorang perempuan, namun dia banyak bicara tentang dirimu, Zelnut." Veronica sering memanggilnya dengan sebutan Hazelnut, panggilan kesayangan sebagai sahabat, alasannya.

"Aku yakin dia juga menyukaimu,"

          "Sejak dulu,"

"Hanya dia saja yang belum mengakui hal itu."

          Veronica selalu gemas—tepatnya jengkel—dengan sikap Junot yang tidak pernah mau menampakkan ekspresi baik itu suka sampai benci, membuatnya frustasi, sebenarnya apa yang membuat kakaknya itu sangat dingin, tak tersentuh, dan sulit digapai.

Hazel langsung tersenyum, dia sangat bahagia. "Terima kasih banyak, Vero."

"You know that I really like your Brother,"

         Bagi Hazel, mendapatkan perhatian Junot memang sulit jistru sangat sulit, tepatnya, tapi bukan berarti itu mustahil, dia hanya memerlukan usaha lebih keras, seperti musim panas yang meluluhkan balok es. Ya, Hazel adalah seorang musim panas, dia akan meluluhkan pria itu.

The Perfect SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang