Keheningan malam menguasai hutan. Tidak ada sama sekali suara. Bahkan suara burung hantu yang biasanya terdengar kini tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Lengang. Senyap. Malam ini sepertinya berbeda dari malam-malam sebelumnya. Hanya semilir angin malam yang sesekali berhembus menusuk pori-pori kulit, membuat manusia yang merasakannya pasti akan langsung membeku.
Gelap. Hanya cahaya dari rembulan yang menerangi hutan belantara tersebut. Tampak awan-awan gelap melewati rembulan yang indah; bersinar dengan terang. Selebihnya, tidak ada sama sekali penerangan. Gemerlap bintang pun tidak terlihat; bersembunyi dibalik awan hitam.
Sepasang mata bulat bercahaya nampak mengawasi sekitar. Hanya dia yang masih bertahan di hutan tersebut. Kepalanya berputar tiga ratus enam puluh derajat kala mendengar derap langkah kaki. Dia melempar tatapan tajam, seolah hendak memperingatkan para pemilik langkah kaki tersebut. Sayangnya, dia tidak dapat bersuara meski hanya sebuah siulan. Peringatannya memang tidak diabaikan, namun ketiga pemillik langkah kaki tersebut tetap melanjutkan langkahnya.
Mata tajam tersebut memandang ke sekeliling. Di belakangnya, lelaki dengan tangannya yang mencengkeram pedang untuk berjaga-jaga sedang menatap sekitar, mencoba mengenali tempat ini. Sesekali keningnya mengkerut ketika mengamati sekitar; sedikit curiga terhadap tanah yang dia pijak. Di sebelah lelaki tersebut, ada juga seorang lelaki yang memegang sebilah belati, siap untuk menghujamkannya ke jantung musuh. Mereka sudah sampai sejauh ini, dan mereka tidak ingin pencapaian mereka sia-sia.
“Sshhh....” Seorang penunggang kuda yang berada di paling depan itu membelai lembut kepala kudanya, memejamkan mata; berusaha menenangkannya dengan bantuan telepati. Merasa sudah baikan, penunggang itu kembali kepada fokusnya sebelumnya. Memperbaiki kain hitam yang menutupi wajah bagian bawahnya untuk sejenak.
Di belakangnya, kedua lelaki yang berperan sebagai Swack itu nampak was-was. Bagaimanapun, misi ini adalah sebuah bahaya dengan level tinggi. Musuh di mana-mana. Tidak ada yang bisa menduga apa yang akan terjadi kedepannya. Keselamatan Teän ada di tangan mereka.
Elf yang memimpin jalan itu terus memegang erat sebuah karung, seolah karung itu adalah nyawanya sendiri. Pedang, busur dan belati sudah dia persiapkan. Netra birunya menggelap. Dia merasakan adanya bahaya.
Beberapa saat dilalui dengan ketegangan. Kuda-kuda berjalan dengan langkah yang sangat pelan, berhati-hati untuk tidak tergelincir saat menginjak tanah yang sedikit licin.
Sebuah dentuman memekakkan telinga disusul api yang berkobar terlihat di kejauhan. Angin berhembus kencang hingga kuda-kuda mereka spontan memberhentikan langkah.
Sebuah seringaian mengembang dari bibir Elf tersebut. Meskipun dia tahu ini akan menjadi semakin sulit, dia tidak peduli. Dia sudah menunggu hal ini sejak keberhasilan mereka mencuri karung yang dia bawa. Kali ini, mereka telah datang untuk karung ini, untuknya; untuk melawannya. Tidak akan mudah melawan musuh sekuat mereka. Tapi setidaknya, dia akan berusaha.
Kedua Swack itu saling berpandangan. Mereka khawatir sebab apinya melaju kencang ke arah mereka. Hawa panas mulai terasa. Tetapi gadis di depan mereka malah kembali menenangkan kudanya. Mereka mengarahkan senjata mereka ke depan, kemudian fokus untuk merapalkan mantra jika diperlukan.
Helaan samar-samar keluar dari bibir Elf itu setelah akhirnya berhasil menenangkan kuda tunggangannya. Dia menegakkan tubuhnya. Netranya kembali menggelap setelah sempat berubah menjadi semula dalam hitungan detik. Bibirnya berkomat-kamit, entah apa yang dia bisikkan. Tatapannya kosong.
Kedua Swack di belakangnya dapat bernapas lega setelah api itu padam, digantikan dengan angin sejuk. Namun kelegaan itu tidak berlangsung lama dikarenakan mereka harus meregang nyawa. Panah itu menancap tepat ke jantung mereka, hanya dalam waktu seperdelapan detik. Jika saja itu panah biasa, maka Elf yang tersisa bisa mengambil alih dengan menyembuhkan keduanya. Tapi sayangnya, ujung panah tersebut mengandung racun mematikan yang tidak seorangpun bisa menyembuhkannya, meski sihir Elf yang terkenal lebih hebat dari sihir milik Penyihir sekalipun tidak akan bisa melakukannya.
Kedua Elf itu terjatuh dari kuda mereka, menutup mata untuk selama-lamanya.
“Bodoh!” makinya pelan. Kedua Swack itu tidak boleh lengah sedetik saja. Sedangkan dia masih mempertahankan perisai yang mengelilingi tubuhnya. Dua kuda pengawalnya sudah pergi entah ke mana.
“Mereka sama sekali tidak pantas menjadi Swack.”
Dia menoleh dan mendapati seekor monster di hadapannya. Monster itu memiliki tubuh berwarna putih, yang sangat keras seperti batu, dengan matanya yang merah dan suaranya yang serak.
“Sendirian?” Seketika lima monster yang serupa tapi tak sama muncul di depan monster yang lebih besar. “Aha..., kau tetap pengecut.”
“Aku ragu. Kau terlihat masih muda tapi sudah dipercayai dalam mengamankannya.” Monster itu menghiraukan ejekannya.
“Setidaknya aku bisa menjaganya dengan baik. Dia adalah jantungku.”
“Kalau begitu, buktikan ucapanmu!”
“Dengan senang hati.” Elf tersebut menunduk sebentar, lantas mendongak seraya tersenyum miring. Enam monster itu mendekatinya ketika dia melompat dari punggung kudanya. Pendaratannya sempurna. Dengan tangkas pedangnya keluar dari tempatnya untuk mencari mangsa yang sangat menggoda.
Monster-monster itu hanya bermodalkan cakaran dari kuku-kuku tajam mereka. Dia sedikit kewalahan. Gerakan mereka terlatih. Monster-monster itu tidaklah mudah dikalahkan. Setelah berjuang sedikit lama, dia akhirnya bisa mengatur napasnya terengah karena dia sudah mengambil lima nyawa.
“Bagus!” Suara berat dan serak itu kembali terdengar.
Dia berbalik secepat kilat dan menahan pedang yang akan memenggal lehernya hanya dengan tangannya. Darah segar mengalir dari telapak tangannya.
“Aku percaya bahwa dia adalah jantungmu,” Monster itu berkata lagi.
“Arghh....” Dia tersungkur karena monster itu menendang perutnya. Dia bangkit dan dengan sisa-sisa tenaganya melawan satu monster tersebut. Dentingan pedang beradu. Dia kembali terjatuh. Topi di kepalanya terlempar, membuat rambutnya terurai dan kain yang semula menutupi bagian bawah wajahnya ikut terlempar.
“Hmm.... Jadi kau perempuan? Pantas saja lemah.”
Dia menggeram. Tapi dia sadar diri, bahwa dia tidak bisa bertahan untuk melawan monster tersebut. Tenaganya hanya tinggal sedikit. Netranya menggelap. Dia berjalan menjauh dengan langkah pelan dan terseok-seok.
Menyadari apa yang akan dilakukannya, monster tersebut meraung kencang. Secepat kilat belati tajam dan tipis tertancap di betisnya. Darah segar keluar dari sana. Betisnya terasa panas, seperti ada yang membakar tulangnya. Monster itu berlari untuk mendekatinya.
Setitik cahaya muncul, semakin membesar setiap detik. Tiga langkah lagi. Tanpa ingin membuang waktu, dia melempar karung tersebut bertepatan dengan monster itu menangkap tubuhnya. Dia dan monster itu terjatuh. Kepalanya mendongak, dia tersenyum ketika mengetahui perjuangannya tidak sia-sia. Karung itu berhasil masuk ke cahaya tersebut. Monster itu meraung sekali lagi karena cahaya itu menghilang.
Matanya mulai memejam dengan senyuman yang masih terpasang di bibirnya. Dia lega, setidaknya jantungnya aman. Dan selanjutnya, hanya takdir yang menentukan apa yang akan terjadi.
•∙☪∙•
Sampai bertemu di chapter selanjutnya....
M/V
![](https://img.wattpad.com/cover/168427591-288-k516552.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hargost Aviral
Fantasi{[ Series 1; Aviral ]} ◢◤◇◥◣ ◥◤◢◤◆◥◣ ◥◤ ◢◤◇◥◣ "Ini bukanlah akhir. Tetapi ini adalah awal dari segalanya." Di tengah perburuan mencari sebuah rusa untuk makan siang, Tavares tanpa sengaja menemukan sebuah 'karung' berwarna silver. Di dalamnya terdap...