Stiil You Part 1

236K 6.7K 75
                                    

Melirik arloji di pergelangan tangannya, Clara semakin resah. Gara-gara lemburnya, lagi, dia mau tidak mau harus melakukan tuntutan pekerjaannya. Sudah tiga hari seperti ini, dan dia juga menolak tumpangan gratis dari Pak Anwar -atasannya- tadi, karena alasan yang sederhana, takut. Itu saja.

Kalau saja tidak ada perintah dari kantor pusat untuk membereskan semua data dan menyiapkan segala keperluan karena perwakilan dari kantor pusat akan datang untuk melihat kantor tempat bekerjanya kini, karena memang tempatnya adalah anak-cabang, mungkin dia tidak akan seperti ini.

Naik taxi di jam malam, di kota yang bukan kelahirannya, merantau sendiri, membuatnya harus pandai-pandai menjaga dirinya sendiri. Walau sudah hampir satu tahun dia di sini, tapi tetap saja masih merasakan takut.

Beruntungnya juga dia bisa bekerja di kota besar, dan gaji di sini juga lumayan untuk menghidupinya serta sedikit untuk membayar...hutang keluarganya yang masih tersisa.

Clara tersenyum miris mengenang takdir hidupnya. Apapun itu, dia tetap bersyukur.

Tiba-tiba dia merindukan Ayahnya yang kini sudah tenang di Surga. Tinggal Ibu dan adik -angkat- satu-satunya di kota yang ia tinggalkan. Kota kelahiran dan asalnya sebelum ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di sini, di Jakarta.

Apa kabar mereka? Sudah seminggu ini ia tidak menghubungi Ibu dan adiknya itu.

Hah...

Ia harus berusaha lebih keras lagi dan berusaha menghilangkan berbagai macam cacian orang-orang yang memandang rendah dirinya dan juga keluarganya dulu... hingga kini, mungkin. Hatinya perih teringat itu semua... apalagi kalau sudah menyangkut batalnya pernikahannya.

Dadanya sesak mengingat saat wajah pria itu mungkin saja kini penuh kebencian padanya.

Dia tidak boleh menangis, itu sudah beberapa tahu silam.

***

Sementara itu, sesosok bertubuh tegap yang masih berbalut setelan jas-hitam tampak berjalan dengan gaya yang sedemikian hingga membuat semua pasang mata di ruangan-mewah ini menatap ke arahnya dengan penuh minat dan memuja.

Ia tidak memperdulikan semua tatapan orang padanya karena di manapun ia, pasti akan seperti ini. Sudah biasa. Ia terus berjalan dan membelah kerumunan hingga yang ia cari ada di hadapannya.

“Oh, kau sudah datang, Nak.” ucap lak-laki yang rambutnya sudah mulai memutih. Senyumnya cerah mengembang di wajahnya yang sudah tidak muda lagi namun tetap tampan, berbeda dengan sosok yang kini menghadapnya dengan tatapan kesalnya, walaupun begitu juga masih terlihat sangat tampan dan berkharisma. Gambaran masa muda dirinya.

“Pa—“

“Aga.” potong wanita separuh baya namun wajahnya masih terlihat cantik, “Baru datang, yang sopan. Kasih salam ke Papa.” perintah wanita ini.

Menghembuskan nafasnya panjang, akhirnya dia terpaksa... “Pa, Ma.” ucapnya sambil mencium kedua pipi mereka berdua masing-masing.

“Sudah puas.” gerutunya menatap wanita yang ia panggil Mama ini.

“Pa, aku ke sana dulu. Hati-hati, singa mengamuk, lagi.” wanita ini mengecup pipi suaminya kemudian berjalan sambil tersenyum ke arah putranya ini.

“Sudah tua, jangan cepat marah. Bahaya.” goda wanita ini kemudian cepat berlalu meninggalkan ke-duanya.

Ia memutar matanya kesal. Tingkah Mamanya benar-benar.

“Jangan hiraukan Mama mu. Tapi ada benarnya juga.” timpal pria paruh baya ini.

“Pa!”

“Ada apa datang-datang muka mu merah padam, kau marah dengan siapa?” tanya pria ini santai dan tenang, berbeda dengan putranya yang masih di selimuti oleh emosi dan kesal.

“Harusnya aku yang tanya Papa, untuk apa aku datang di acara ini. Papa sudah tau aku nggak mau di jodohkan lagi. Lagian Papa Mama tau, malam minggu itu aku tidak akan ikut dalam acara membosankan seperti ini.” jelasnya panjang lebar dan ia puas sudah mengeluarkan isi hatinya yang mengganjal.

Sementara pria paruh baya ini hanya tersenyum mendengar ocehan putra sulungnya ini.

“Astaga, anakku. Kau berlebihan sekali. Papa tau, malam minggu kau tidak dapat di ganggu gugat karena kencanmu dengan wanita tidak jelas itu terganggu, kan.”

Dia tidak bergeming. Memang benar apa kata Papanya ini. Wanita tidak jelas. Ia juga tidak tersinggung, memang begitulah dia sekarang, silih berganti wanita hanya sekedar untuk ia campakkan, itu saja. Tidak ada yang istimewa.

Semua itu dilakukannya karena ia sangat membenci dirinya dan gadis yang dulu pernah menolak untuk menikah dengannya, padahal jelas-jelas mereka sudah sepakat dan perasaan yang ia rasakan pada gadis itu sungguh teramat dalam walau hanya beberapa kali bertemu. Namun, ia tidak mengira kalau di campakkan begitu saja.

Alasan yang ia dengar karena harta. Mungkin keluarganya kurang kaya? Gila. Bahkan dia kini bisa membeli pulau di Indonesia dengan uangnya sendiri.

Membuat keluarga besarnya malu, dan hatinya terasa pedih dan nyeri sampai saat ini.

Ia merasakan pundaknya di tepuk pelan, “Papa hanya ingin mengingatkan kalau besok lusa, tepatnya Senin besok, kau mewakili Papa datang ke kantor cabang kita yang baru.”

Sepertinya papanya ini tau keadaan hatinya kalau sudah membicarakan wanita hingga papanya sendiri mengalihkan pembicaraan.

“Papa menyuruhku ke sini hanya untuk memberitahuku.” sentaknya. God. Kenapa bisa, sialan. Ia menggeram marah, tapi percuma saja, ia selalu kalah dengan ancaman akan di jodohkan. Membuatnya mengingat masa lalunya saja.

“Ya. Keberatan?”

“Nggak!” jawabnya kesal.

“Bagus.”

“Untuk apa sih, bukannya kantor di sana baik-baik saja? Kalau boleh ngomong, kantor cabang itu bukan levelku untuk datang langsung ke sana, Pa.” cibirnya sombong dan tetap pria yang bernama Aga Treviyan ini sebenarnya sangat-tidak rela untuk pergi ke sana.

Untuk apa? Buang-buang waktu.

***

Bwahahaha dikit banget >,< namanya uji coba --"

jangan protes ya, kayak ada yang baca aja {{}}

Still YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang