6

503 78 23
                                    

Kami saling menatap. Diam, hening, ditambah semilir angin sejuk dan suara ombak yang tenang di siang menjelang sore ini.

Masih sama. Aku masih dalam gendongannya.
.
.
.
.
.
.

Kedua pupil kami bertemu dan mengunci. Detak jantungku semakin kacau. Tapi lirikannya berubah, dari mata turun ke bibirku.

Iya, bibir.

Dia mendekat dan sudah sedikit memiringkan kepalanya. Bahkan ia juga memejamkan mata. Tapi ia berhenti. Dan jarak kami hanya sekitar 2 cm.

"Maaf."

Itulah kata yang keluar dari mulutnya. Ditambah lagi dengan suaranya yang dalam dan lembut membuat telingaku bergetar karena sedikit geli. Surai rambut hitamnya itu juga membuat kulitku bergidik ngeri. Dia memang bukan hantu, tapi seperti... Penjahat?!

Ini adalah kejadian langka yang terjadi dalam hidupku. Digendong ala pengantin baru di pantai dan larut dalam diam. Apa ini? Apa aku berada di negeri dongeng dengan sejuta fantasi?

"Bi—bisakah kau turunkan aku? Aku malu," ucapku memalingkan pandanganku ke pasir sambil memasang muka masam.

Johnny memulai keanehannya lagi. Bukannya menyesal karena telah mendekatiku, ia justru terkekeh karena mukaku memerah seperti buah persik.

"Baru pertama kali aku melihatmu punya malu. Hehe," ejeknya dengan memasang senyum seringai. Jujur saja, itu hanya membuatku semakin takut.

"Apa?" Wajahku langsung menoleh kearahnya. "Johnny! Turunkan aku!"

Aku merengek kesal karena ia masih terus tertawa, seperti tiada dosa atas apa yang ia lakukan. Parahnya, Johnny tidak langsung menurunkanku.

"Aku tidak mau, blee," Johnny menjulurkan lidahnya.

Johnny menggoyangkan gendongannya sekali lagi. Membuat pegangan tanganku di belakang lehernya semakin kuat. Aku benar-benar menjerit ketakutan dan reflek membenamkan mukamu pada dadanya. Lalu berhenti lagi.

Ia terus tertawa karena telah menggodaku. Sementara aku merengek ketakutan karena ayunannya itu.

"Kenapa kau suka sekali membuatku kesal?" Ujarku dengan suara bergetar. Iya, aku menangis.

"Karena jika kau menyebalkan, kau terlihat manis," gombal Johnny.

Mukaku merah lagi, aku tidak bisa menahan maluku seperti ini. Aku melepaskan lingkar tanganku dan memukul dadanya itu. Sungguh, aku sangat kesal.

*****

Aku dan Johnny memutuskan untuk menikmati udara malam di pantai Santa Monica. Kami duduk di kursi taman di sekitar dermaga yang penuh dengan keramaian pengunjung. Banyak sekali street food dan ada wahana komedi putar besar yang menyala warna-warni di malam seperti ini.

"Johnny," panggilku. Lamunannya buyar saat menyadari suaraku.

"Ha? Ada apa?"

"Bagaimana kau bisa divonis Leukimia?"

Johnny sesaat diam. Aku tidak tahu isi pikirannya. Mungkin ia kaget saat mendengar pertanyaanku. Dari tatapannya, aku sudah berhasil membuat dia sedih. Aku sedikit takut. Takut ia meneteskan air matanya saat bercerita.

The Last Melody {Johnny Seo}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang