12

456 58 17
                                    

Kamar Johnny semakin dingin. Tapi untungnya ia sudah menghubungi suster untuk memberiku selimut tambahan.

Rrrt!

Suara getaran di meja membangunkanku. Dengan mata masih setengah terpejam, aku meraih tanganku ke meja untuk mengambil ponselku. Setelah ku lihat, ternyata ibu menelfonku.

"Halo?" Sapaku dengan suara parau.

"Alexa? Kau dimana? Ini sudah jam berapa dan kau belum pulang!" Ibuku mulai mengomel.

"Bu, maaf. Untuk malam ini aku tidak pulang."

"Kenapa?"

"Ada masalah yang tidak dapat aku jelaskan. Begitu banyak yang terjadi hari ini."

"Dan kenapa kau tidak mengabari ibu hari ini? Hah? Alexa, kenapa kau menjadi seperti ini?"

"Ibu, aku tidak—"

"Terserah kau, Alexa!"

Ibu langsung mengakhiri panggilan. Aku membuang nafas berat. Aku salah, lagi. Pikiran semakin kacau. Bagaimana aku meminta maaf pada ibu?

*****

Harusnya aku masuk sekolah hari ini. Tapi aku memilih untuk memboloskan diri. Aku lelah dengan kehidupan sekolahku, termasuk sejak masalah kemarin.

Ting!

Suara pesan dari ponselku. Lagi-lagi dari ibu.

Ibu
Alexa, maafkan ibu semalam ya. Ibu sudah marah-marah padamu disaat yang tidak tepat. Ibu sudah menghubungi pihak sekolah bahwa kau izin. Ibu sudah tahu apa yang terjadi dari Nyonya Seo. Johnny sendiri yang memberi tahu ini.

Kalau aku katakan, Johnny itu seperti ayahku. Persis sekali. Aku memang tidak banyak bicara kepada ibuku, melainkan ayahku. Terkadang ibu juga tahu masalahku dari ayah. Namun, ibu tidak marah. Karena ia tahu bahwa ayah lebih bisa membuatku tenang. Mungkin memang Johnny menjadi pengganti ayahku, walau sementara waktu.

"Selamat pagi, sayangku," sapa Johnny dengan senyumnya yang manis.

"Apa-apaan kau ini? Pagi-pagi sudah membuat buluku bergidik," gerutuku dengan pipiku yang memerah.

"Hahaha. Oh ya, hari ini aku akan menjalani kemoterapi pada jam 8. Kau mungkin disuruh menunggu di luar. Apa tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa, Johnny. Aku akan mengintipmu dari kejauhan. Semoga berhasil, sayangku," ucapku dengan ulasan senyum. Sejujurnya agak aneh saat aku memanggil dirinya dengan panggilan mesra. Tapi akhirnya, ia balas itu dengan senyuman yang begitu merekah.

Setidaknya sebelum kematiannya, aku sudah tahu bagaimana proses pengobatan kanker itu berjalan walau hanya dari luar.

Lalu mataku beralih ke arah kepalanya yang mengenakan bennie hat. Ada apa dengan rambutnya? Apakah ia telah botak?

"Eum, Johnny?"

Ia hanya menoleh.

"Kenapa kau mengenakan bennie?"

Johnny memegang topi tersebut dan melepaskannya. Dugaanku benar. Johnny 85% botak, meski masih ada rambut tipis yang tersisa.

"Wahaha, rambutmu lucu sekali," seketika aku tertawa terbahak-bahak.

Johnny melihatku dengan senyum yang penuh kasih. Melihatku tertawa terbahak-bahak seperti itu membuatnya merasa bahwa ia berhasil menghiburku dengan caranya yang sederhana.

The Last Melody {Johnny Seo}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang